Jakarta (Aswajanews.id) – Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Yahya Staquf mengatakan, saat menjadi juru bicara Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001, ia menerima gaji Rp 2 juta per bulan ditambah kupon pembelian bensin Rp 300 ribu. Menurut Yahya, mula-mula birokrasi Istana sempat kebingungan menentukan besaran gaji dia karena jabatan juru bicara presiden belum dikenal dalam nomenklatur pemerintahan.
Akhirnya, kata Yahya, Istana mengambil keputusan bahwa besaran gaji juru bicara disamakan dengan juru-juru yang lain. “Jadi gaji juru bicara presiden kemudian disamakan dengan juru masak, juru taman, juru rias, juru mudi dan juru-juru lainnya,” kata Yahya dalam acara peluncuran buku berjudul Menghidupkan Gus Dur: Catatan Kenangan Yahya Cholil Staquf, di Empu Sindok Arts Station, Kebayoran Baru, Jakarta, secara virtual, Ahad siang, 19 Desember 2021.
Peluncuran sekaligus bedah buku yang ditulis A.S. Laksana itu berlangsung cair dan penuh humor. Baik nara sumber maupun penanggap menyampaikan kesan-kesannya tentang Gus Dur dari segi kejenakaan Presiden RI ke-4 itu. Apalagi moderator bedah buku, Abdul Gafar Karim dari Fisipol Universitas Gadjah Mada, secara berseloroh mengancam memotong pernyataan penanggap yang terlalu serius dan tidak lucu.
Kegiatan yang dilaksanakan secara hibrid itu dihadiri antara lain oleh Saifullah Yusuf (Gus Ipul), Ipang Wahid dan Eros Djarot. Adapun yang hadir daring di antaranya Yenny Wahid dan Muhaimin Iskandar. Muhaimin, yang selama ini dikesankan kurang akur dengan Yenny Wahid, juga turut memberikan kesan-kesannya pada buku Yahya Staquf.
Yahya Staquf sendiri mengaku bertemu Gus Dur secara langsung pada 1987. Menurut dia, ketika itu sedang ada kegiatan seminar nasional yang diselenggarakan oleh Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU di sebuah hotel di Tebet, Jakarta. Ayah Yahya Staquf, Cholil Bisri, serta pamannya, Mustofa Bisri (Gus Mus), diundang dalam acara itu. Seusai acara, Gus Dur meriung di kamar hotel bersama Cholil Bisri, Gus Mus, Alwi Shihab, dan sejumlah intelektual kampus. “Mereka berdiskusi tentang masalah politik dengan kajian yang sangat intelektual,” ujar Yahya.
Gus Dur juga menceritakan bahwa dia baru saja membentuk Yayasan Empati, akronim dari Empang Tiga, bersama Alwi Shihab, Nurcholish Madjid, Jalaluddin Rahmad dan lain-lain, yang oleh Gus Dur disebut sebagai kumpulan orang-orang gila. Di tengah diskusi, kata Yahya, Gus Mus berdiri dan pergi ke kamar mandi. Sebelum pergi, Gus Mus mencopot cincin batu akik yang ia kenakan, lalu ditaruh di atas meja.
Gus Dur, yang tengah berbicara masalah-masalah berat itu, tiba-tiba berhenti. Ia memungut cincin Gus Mus dan diletakkan di ujung jari telunjuk kiri. Kemudian Gus Dur menekuk sikunya di atas meja. Dengan jari-jemari tangan kanan terenggang, ia mengukur mulai pangkal siku hingga ujung jari. “Kata Gus Dur, kalau ukurannya pas, berarti cincin itu jodoh untuk dimiliki,” kata Yahya.
Yahya Staquf mengenang peristiwa itu sebagai salah satu yang, menurutnya, terlucu dari Gus Dur. Sebab, di tengah pembicaraan serius yang sangat intelektual tentang politik, Gus Dur tiba-tiba membahas soal batu akik. (Sumber : Tempo)