Beranda Kajian Ibadah Kurban; Manifestasi Ekoteologi bagi Alam dan Manusia

Ibadah Kurban; Manifestasi Ekoteologi bagi Alam dan Manusia

116
Oleh; Muhammad Fuad Mas'ud, Lc., M.H. (Pendidik dan Pemerhati Pendidikan Pesantren)

Ibadah kurban yang dilaksanakan oleh umat islam tidak hanya dimaknai sebagai ritual tahunan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah dan mewujudkan nilai-nilai sosial yang bisa diambil dari pelaksanaannya. Dimensi spiritual dan sosial yang melekat dalam ibadah kurban tentunya merupakan salah satu instrumen bagi umat islam dalam memperkokoh status kehambaan di hadapan Allah swat dan menumbuhkan jiwa sosial untuk berbagi, peduli, dan memperkuat solidaritas sosial. Dalam konteks masyarakat modern yang sering kali dilanda egoisme dan ketimpangan, nilai-nilai dari kurban dapat menjadi solusi spiritual dan sosial yang relevan.

Sangat penting seklali bagi umat Islam untuk memaknai kurban secara lebih komprehensif, tidak hanya dimaknai sebagai ibadah simbolik dan gerakan sosial yang berdampak luas, namun dibalik ibadah kurban juga terkandung nilai ekologi yang terintegrasi dengan nilai ketauhidan. Melalui ibadah kurban, umat islam juga diajarkan untuk melesatrikan alam sebagai wujud keimanan terhadap sang pemilik alam, karena sejatinya keimanan kepada Allah swt harus disertai dengan prilaku yang sejalan dengan penjagaan dan pelestarian terhadap semua hal yang diciptakan Allah swt sebagai bentuk taskhir “penaklukan maunisa” atas alam yang sudah dinash melalui banyak ayat dalam al-quran. Itulah perwujudan nilai ekoteologi yang menjadi ruh bagi umat islam mejaga alam semesta dan peradaban manusia.

Ekoteologi adalah sebuah pendekatan teologis yang mengintegrasikan ajaran agama dengan kepedulian terhadap lingkungan hidup. Ini adalah bagian dari upaya untuk merespons krisis ekologi global melalui perspektif keagamaan, dengan menekankan bahwa merawat bumi adalah bagian dari ibadah dan amanah manusia sebagai khalifah (wakil Allah) di muka bumi. Dalam banyak perintah Allah, umat islam diajarkan untuk melestarian alam, seperti larangan berbuat kerusakan (fasad), perintah menjaga keseimbangan (mīzān), dan etika konsumsi (tidak berlebihan). Ajaran tersebut bertujuan untuk menumbuhkan kesadaran bahwa alam adalah ciptaan Allah dan harus dihargai serta dilestarikan, bukan dieksploitasi.

Dalam teori ekosistem dijelaskan, bahwa penyembelihan hewan untuk dikonsumi merupakan cara untuk mencegah overpopulation yang bisa mengganggu ekosistem setempat, terutama jika hewan-hewan itu tidak lagi dikendalikan jumlahnya. Disamping itu, dampak jangka Panjang jika hewan tidak disembelih secara ekosistem akan menimbulkan konversi lahan dan tekanan terhadap habitat. Hal ini, terjadi karena hewan ternak membutuhkan lahan padang rumput dan pakan. Jika tidak dimanfaatkan (disembelih), kebutuhan ruanghidupnya tetap besar, dan ini bisa memperparah deforestasi dan konversi lahan liar.

Diantara dampak eksosistem yang akan terjadi jika tidak ada syariat kurban dalam (menyembelih hewan) adalah munculnya problem emisi gas ruma kaca, seperti peternakan sapi menghasilkan metana (CH₄) dalam jumlah besar. Jika populasinya tidak dikendalikan, ini akan memperburuk perubahan iklim. Pada tahun 2013, FAO (Food and Agriculture Organization menyatakan, bahwa Peternakan menyumbang sekitar 14,5% dari total emisi gas rumah kaca antropogenik global, lebih besar dari sektor transportasi.

Berdasarkan teori rantai makanan dijelaskan, bahwa setidaknya ada tiga dampak terhadap rantai makanan dan keanekaragaman hayati jika manusia berhenti menyembelih dan mengonsumsi hewan, diantaranya adalah rantai makanan alami terganggu, terutama karena manusia selama ini berperan sebagai predator puncak terhadap hewan ternak, keanekaragaman hayati bisa terancam jika spesies tertentu mendominasi ekosistem secara tidak alami, dan bisa terjadi ledakan populasi herbivora yang akan menguras vegetasi (rumput, semak, dsb), sehingga bisa menyebabkan kerusakan tanah dan erosi. Menurut Vaclav Smil (Ahli Energi dan Lingkungan, University of Manitoba) dalam bukunya “Should We Eat Meat?”, menunjukkan bahwa daging hewan memberi kontribusi besar terhadap kebutuhan protein global, dan penghapusan daging akan membutuhkan perubahan radikal dalam sistem pertanian, termasuk produksi tanaman pengganti.

Allah swat mensyariatkan ibadah kurban tidak hanya semata dalam rangka mewujudkan kesalehan individual dan menumbuhkan kepekaan sosial, namun dibalik syariat tersebut terdapat nilai kemaslahatan untuk alam dan manusia di dunia. Hal ini sejalan dengan teori maqosid syariah yang disampaikan oleh al-syatibi, bahwa dibalik semua pensyariatan yang ditetapkan oleh Allah pasti mengandung kemaslahatan, baik maslahat dunia atau akhirat, ataupun maslahat yang langsung bisa dirasakan atau maslahat yang bersifat jangka Panjang (ma’alaat). Redaksi “taskhir” di dalam ayat surat al-hajj, ayat 36 dan 37 yang menjelaskan secara eksplisit tentang ibadah kurban merupakan dalil nyata untuk alam dan manusia, bahwa ibadah kurban merupakan perwujudan nilai tauhid dimana manusia hanya bisa pasrah, tunduk, dan patuh atas semua yang Allah perintahkan. Disamping itu juga Allah swt memberikan peluang bagi manusia untuk mengeksplorasi dan memanfaatkan alam dengan baik sebagai bukti Syukur atas nikmat yang Allah berikan. Atas dasar itulah, bahwa ibadah kurban merupakan manifestasi ekoteologi bagi alam dan manusia untuk kemaslahat dunia dan akhirat. Wallahu ‘alam.