
Bandung, Aswajanews.id | Dugaan praktik mafia tanah menyeruak di kawasan Griya Bumi Antapani RW 14, Kelurahan Antapani Tengah, Kota Bandung. Redaksi Aswajanews.id menemukan indikasi serius bahwa sebidang tanah adat seluas ±11.800 meter persegi (±1,18 hektar), yang secara administratif masih tercatat atas nama almarhum Sadiredja dalam Kohir No. 450 Persil 56 S.II, telah dikuasai tanpa dasar hukum yang jelas.
Dalam Surat Keterangan Lurah Antapani Wetan tertanggal 26 Maret 2024, muncul tanda “P” di Buku C, yang diklaim sebagai penanda bahwa tanah telah “dibebaskan oleh Perumnas.” Namun berdasarkan hasil investigasi dan dokumen yang diverifikasi bersama ahli waris, tidak pernah ada proses pelepasan hak, akta hibah, ganti rugi, maupun komunikasi resmi dengan Perumnas atau instansi pemerintah lainnya. Maka, muncul pertanyaan serius: siapa yang mencantumkan tanda “P” itu, atas perintah siapa, dan untuk kepentingan siapa?
Lebih mencengangkan lagi, salah satu bangunan permanen di atas tanah tersebut diduga dikuasai oleh mantan Lurah Antapani Wetan atau keluarganya sendiri, menimbulkan dugaan konflik kepentingan dan penyalahgunaan wewenang. Fakta ini memperkuat spekulasi publik mengenai kemungkinan keterlibatan oknum pemerintah kelurahan dalam praktik mafia tanah yang lebih luas.
Tanda “P” yang dicantumkan secara misterius itu tidak hanya menciptakan pengaburan administratif, tetapi juga menjadi simbol dugaan kolusi. Dalam konteks ini, penggunaan kata “Perumnas” tanpa didukung dokumen otentik justru berpotensi menyesatkan dan menjustifikasi penguasaan yang melawan hukum.
Redaksi juga menyoroti kejanggalan administratif lain yang sangat mencolok: publik mempertanyakan mengapa pengelolaan buku tanah kelurahan yang sangat strategis dan krusial justru dipercayakan kepada seorang tenaga honor bernama Jajang, yang bukan PNS maupun ASN. Padahal pengelolaan Buku C sangat menentukan, menyangkut hak-hak atas tanah warga dan bisa memicu sengketa agraria serius. Mengapa Lurah membiarkan ini terjadi? Apakah ini disengaja atau bagian dari pola pembiaran yang sistemik?
Redaksi telah secara resmi mengajukan surat klarifikasi kepada Kelurahan Antapani Wetan pada 12 Juni 2025, berisi pertanyaan kunci:
- Sejak kapan tanda “P” muncul dalam Buku C dan siapa yang mencantumkannya?
- Apa dasar hukumnya dan dokumen apa yang mendukung?
- Apakah pernah ada peralihan hak dari ahli waris kepada pihak lain?
- Dan bagaimana Kelurahan merespons fakta bahwa lahan tersebut kini dikuasai oleh mantan pejabatnya sendiri?
Namun hingga batas waktu 5 hari kerja, Kelurahan Antapani Wetan memilih diam. Sikap ini justru memperkuat kecurigaan bahwa ada sesuatu yang disembunyikan. Dan bila benar ada yang disembunyikan, publik berhak bertanya: siapa yang diuntungkan dari pembiaran ini? Apakah ada pihak tertentu yang diam-diam menikmati hasil penguasaan ilegal tersebut?
Redaksi Aswajanews.id menilai bahwa diamnya pihak kelurahan adalah bentuk pengabaian terhadap tanggung jawab administrasi dan etika pelayanan publik. Dalam demokrasi yang sehat, pejabat publik tidak boleh memilih diam saat integritas institusinya dipertanyakan. Sebaliknya, sikap terbuka dan transparan adalah satu-satunya cara untuk memulihkan kepercayaan publik.
Tanda “P” bukan hanya huruf. Ia adalah sinyal—bahkan mungkin skema. Dan di tengah senyapnya birokrasi lokal, tugas jurnalisme adalah mengangkat suara mereka yang ditenggelamkan, dan menguak kenyataan yang sengaja ditutupi (Tim Investigasi).
Eksplorasi konten lain dari aswajanews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.