BANDUNG (Aswajanews.id) – Polemik keberadaan Bandara Internasional Jawa Barat (BIJB) Kertajati terus menuai sorotan. Bandara megah yang digadang-gadang sebagai Proyek Strategis Nasional (PSN) itu justru sepi penumpang, sementara desakan untuk mengaktifkan kembali Bandara Husein Sastranegara di Kota Bandung semakin menguat.
Wali Kota Bandung, Muhammad Farhan, menjadi salah satu yang paling vokal. Dalam pernyataannya Kamis (12/5/2025), Farhan mengusulkan agar Bandara Husein kembali dibuka untuk penerbangan komersial.
“Masyarakat Jawa Barat selama ini dipaksa menggunakan Kertajati yang letaknya jauh dari pusat kegiatan ekonomi. Akibatnya, justru banyak warga lebih memilih terbang melalui Bandara Halim Perdanakusuma di Jakarta,” ungkapnya.
Senada dengan Farhan, Ketua Presidium Corong Jabar, Yusuf Sumpena, S.H., Sp.M. atau akrab disapa Kang Iyus, bahkan mendesak evaluasi serius terhadap keberadaan BIJB. Ia menilai pemerintah provinsi Jawa Barat dan pemerintah pusat perlu memberi perhatian khusus terhadap problem yang ada.
Menurutnya, pusat bisnis Jawa Barat berada di kawasan Bandung Raya, sehingga mayoritas pengguna maskapai seharusnya dilayani dari bandara terdekat. “Secara geografis mereka lebih memilih Bandara Husein. Bahkan kecenderungan ada yang ke Soekarno-Hatta atau Halim daripada harus ke BIJB Kertajati,” jelasnya.
Kang Iyus menilai kelemahan utama BIJB terletak pada akses transportasi publik yang minim. Jika ke Soekarno-Hatta dan Halim tersedia moda transportasi dari berbagai kota di Jawa Barat, ke Kertajati justru sebaliknya.
“Positioning dan market BIJB itu sebenarnya lebih tepat untuk wilayah Cirebon, Kuningan, Indramayu, Brebes, dan Tegal. Tapi di sana prosentase pengguna transportasi udara justru sangat kecil. Ini jelas sebuah kesalahan analisis bisnis,” tegasnya.
BIJB “Salah Hitung”?
Meski tol Cisumdawu sudah menghubungkan langsung ke Kertajati, minat maskapai penerbangan tetap rendah. Menurut Kang Iyus, kondisi ini menunjukkan BIJB tidak efektif sejak awal. Padahal, bandara seluas 1.800 hektar itu menelan biaya triliunan rupiah dari APBD Jawa Barat.
“Ini perencanaan yang kurang matang, analisis bisnis yang gagal. Segmentasi dan target market tidak sesuai sasaran. Akhirnya BIJB hanya jadi simbol bandara mewah tanpa fungsi nyata,” katanya.
Kang Iyus mendorong adanya kajian bisnis yang lebih serius dan profesional, termasuk menggarap potensi Aero City sebagai daya tarik. Namun ia juga menyarankan opsi realistis jika evaluasi tidak membuahkan hasil.
“Lebih baik penerbangan komersial Jawa Barat difokuskan saja di Bandara Internasional Husein Sastranegara yang sudah terbukti profesional pengelolaannya. BIJB sebaiknya dikhususkan untuk hanggar, pemeliharaan pesawat TNI/Polri dan swasta, serta penerbangan umroh dan haji,” pungkasnya. (Red/Nas)
Eksplorasi konten lain dari aswajanews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.