Beranda Kajian Dampak Kebijakan Subsidi Pajak Mobil Listrik Bagi Perekonomian Negara, dan Dugaan Gratifikasi...

Dampak Kebijakan Subsidi Pajak Mobil Listrik Bagi Perekonomian Negara, dan Dugaan Gratifikasi Pembuat Kebijakannya

33

Oleh: Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M.

Bandung – Kebijakan subsidi pajak bagi kendaraan listrik berbasis baterai (KBLBB) yang diberlakukan sejak 2023 oleh pemerintah Indonesia menuai pro-kontra. Di satu sisi, kebijakan ini diklaim mendukung agenda transisi energi dan pengurangan emisi karbon. Namun di sisi lain, kebijakan ini dinilai tidak adil secara fiskal, minim evaluasi, dan bahkan mengandung potensi konflik kepentingan serta dugaan gratifikasi kebijakan oleh oknum yang terlibat dalam perumusannya.

Subsidi Ramah Lingkungan atau Keuntungan Oligarki?

Subsidi diberikan dalam bentuk pengurangan atau pembebasan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), hingga bea masuk bagi mobil listrik. Namun ironisnya, realisasi kebijakan ini justru lebih banyak dinikmati oleh kalangan menengah atas dan perusahaan otomotif asing yang telah lama membangun relasi kuat dengan pembuat kebijakan.

Padahal, secara prinsip keadilan fiskal, subsidi seharusnya diberikan untuk mendukung masyarakat menengah-bawah agar dapat mengakses teknologi yang lebih ramah lingkungan. Kenyataannya, harga mobil listrik tetap berada di kisaran yang tidak terjangkau oleh mayoritas rakyat Indonesia.

Beban APBN dan Hilangnya Potensi Penerimaan Negara

Kebijakan ini tidak datang tanpa biaya. Menurut estimasi sejumlah lembaga riset kebijakan fiskal, potensi hilangnya penerimaan negara akibat insentif fiskal kendaraan listrik dapat mencapai triliunan rupiah per tahun. Dalam jangka menengah, hal ini berpotensi menciptakan beban ganda bagi APBN: kehilangan pemasukan dari sektor kendaraan konvensional dan tidak adanya kompensasi fiskal yang seimbang dari sektor kendaraan listrik yang disubsidi.

Sebaliknya, sebagian besar manfaat insentif ini justru ditangkap oleh beberapa grup usaha besar yang memiliki lini distribusi kendaraan listrik impor dari Tiongkok, Korea Selatan, atau Jepang.

Dugaan Gratifikasi dan Konflik Kepentingan

Berbagai laporan mulai mencuat terkait adanya dugaan bahwa proses penyusunan regulasi insentif kendaraan listrik tidak sepenuhnya bersih dari pengaruh kepentingan korporasi. Beberapa sumber menyebutkan adanya pola gratifikasi terselubung dalam bentuk saham, fee konsultasi, hingga bantuan kampanye politik bagi oknum pembuat kebijakan.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disebut telah menerima laporan mengenai indikasi keterlibatan oknum pejabat tinggi dalam relasi bisnis tidak langsung dengan perusahaan penerima insentif mobil listrik. Sayangnya, hingga saat ini belum ada tindakan investigasi terbuka.

Minim Evaluasi, Transparansi Dikorbankan

Salah satu titik lemah utama dalam kebijakan ini adalah absennya evaluasi publik dan keterbukaan data. Hingga kini, pemerintah belum merilis secara terbuka:

  • Total penerimaan negara yang hilang akibat insentif.
  • Nama-nama perusahaan yang menerima insentif paling besar.
  • Analisis cost-benefit terhadap dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan.

Ketiadaan transparansi tersebut menimbulkan pertanyaan: apakah subsidi ini benar-benar untuk kepentingan publik, atau hanya menjadi kendaraan baru untuk memperkaya segelintir elite bisnis?

Rekomendasi: Subsidi yang Lebih Adil dan Produktif

Sudah saatnya pemerintah mengevaluasi ulang arah subsidi pajak kendaraan listrik. Beberapa langkah korektif yang patut dipertimbangkan antara lain:

  1. Mengarahkan subsidi kepada transportasi publik berbasis listrik, bukan kendaraan pribadi.
  2. Menerapkan skema insentif berbasis pendapatan, sehingga hanya mereka yang benar-benar membutuhkan yang menerima subsidi.
  3. Melibatkan BPK dan KPK dalam audit menyeluruh atas proses penyusunan dan implementasi kebijakan ini.
  4. Memublikasikan data penerima manfaat dan analisis fiskal agar publik dapat mengawasi secara kritis.

Tanpa koreksi dan pengawasan ketat, kebijakan subsidi kendaraan listrik berpotensi menjadi skema pemutihan pajak terselubung untuk konglomerasi otomotif dan membebani keuangan negara secara tidak proporsional.

Penulis adalah Pendiri Kantor Hukum Bernard Simamora & Rekan, dan pengamat kebijakan publik.