Setiap warga negara berhak menyalurkan aspirasi politiknya sebagaimana termaktub dalam UU Pemilu. Menyalurkan aspirasi politik merupakan bagian dari sistem demokrasi di negeri kita republik Indonesia. Keterlibatan rakyat dalam sistem demokrasi menjadi sebuah keniscayaan. Persoalannya apakah aspirasi yang kita salurkan berimbas pada kualitaa demokrasi? Atau demokrasi tersebut telah diimbuhi dengan kata perdagangan sehingga menjadi “demokrasi perdagangan”.
Demokrasi Perdagangan terkadang luput dari nilai kualitas demokrasi. Dengan rumus “Wani Piro” (berani harga berapa) pemilih menukar aspirasi suaranya dalam pemilu dengan rupiah. Transaksi tersebut tidak lepas dengan mediasi (bakul politik) yang bergerak di lapangan pada saat menjelang Pemilu. Mereka secara disebut dengan tim sukses di luar struktur partai yang berusaha untuk menyukseskan calon legislatif, presiden dan kepala daerah. Dengan berbagai cara “bakul Politik” berusaha keras untuk meraih suara sebanyak banyaknya. Kadang juga menghalalkan segala macam cara yang penting tujuan tercapai.
Untuk meraih suara dari konstituen bagi mereka tidak membutuhkan pembekalan secara formal, namun yang dibutuhkan amunisi dan komunikasi non formal dengan pihak calon. Dengan mengandalkan kemampuan komunikasi dan informasi yang dimiliki mereka bergerak dari pintu ke pintu atau melalui jaringan komunitas tertentu.
Tidak semua orang bisa melakukan komunikasi politik untuk meraih suara dengan bahasa yang bisa difahami oleh warga masyarakat. Mereka yang terbiasa berbicara dihadapan publik seperti penceramah, juga tidak mesti bisa melakukan model komunikasi personal tersebut.
Terlepas dari kemampuan mereka, seorang Caleg kadang menjadi sasaran empuk untuk dikuras duitnya dengan alasan masyarakat butuh ini dan itu. Bakul politik menyampaikan dengan bahasa yang meyakinkan dihadapan Caleg untuk mendapatkan sebuah uluran tangan dan kepercayaan. Sehingga Caleg merasa tertarik dan percaya kepada bakul polotik tersebut.
Pemilu 2024 sudah dekat, para bakul politik tentu sudah mempersiapkan sasaran untuk dipasarkan kepada publik.Tak peduli partai apapun yang penting secara materi ada yang bisa diberikan. Namun demikian ada juga yang melihat partai dan figur yang dicalonkan. Lebih dari itu ada satu orang bisa menjadi bakul politik dari beberapa partai politik atau beberapa calon legislatif.
Sebagai bakul politik tidak semua memahami aspirasi politik. Sebagian besar lebih terpaku dengan strategi bagaimana bisa mendapatkan banyak suara dengan berbagai cara. Sementara karakteristik masyarakat mayoritas lebih cenderung pada pemberian materi dari pada menyampaikan aspirasi. Karakteristik masyarakat dengan ekonomi dan pendidikan yang rendah tentu lebih mengedepankan kepada pemberian materi (keuntungan pribadi) spontan dari pada kebijakan politik yang berimbas secara masif untuk masyarakat dalam masa lima tahun.
Lemahnya pendidikan politik di tengah tengah masyarakat berakibat terhadap anggapan masyarakat menjadikan pemilu sebagai kesempatan mendapatkan “saweran politik”. Tidak melihat program dan kualifikasi yang dipilih. Inilah yang menjadikan nilai politik dijual dengan rendah. Mereka hanya memilih, namun tidak diberikan pendidikan untuk menjadi pemilih yang cerdas.
Sudah saatnya kita harus mewujudkan pemilu 2024 yang cerdas dengan melahirkan kebijakan politik yang bermaslahat untuk kepentingan rakyat. Oleh karena itu kepentingan pragmatis yang bersifat materi harus dipinggirkan. Bakul Politik agar ikut turut serta memberikan pencerahan dalam koridor pendidikan politik yang sehat dan santun.
Kecerdasan pemilih akan menjadi penentu masa depan bangsa dalam rentang lima tahun kedepan. Pemilu sebagai represenstasi demokrasi sangat dibutuhkan peran masyarakat yang cerdas memilih. Tanpa hal tersebu, pemilu tinggal hanya sebuah pesta lima tahun yang kurang berimbas secara signifikan kepada masyarakat. (*)