Oleh BUDIARTO SHAMBAZY
Koran dwimingguan Sun News di Santa Fe (New Mexico) edisi 28 Oktober memuat judul “Obama Wins!” di halaman depan. Tak ada teks, cuma judul itu plus foto Barack Obama dengan giginya yang kayak Chiclets itu sehalaman.
Kok nekat? “Tiap orang ingin jadi yang pertama mengumumkan pemenang pilpres. Kami mencatat rekor itu,” kata pengumuman koran bertiras 10.000 eksemplar itu.
Lain lagi ulah lima koran di Ohio, Florida, dan Nevada. Mereka menjual koran dengan sisipan 1,25 juta keping DVD durasi 95 menit berisi kampanye negatif terhadap Obama.
DVD “Hype: The Obama Effect” menayangkan wawancara dengan tokoh konservatif, seperti wartawan Robert Novak, mantan capres Mike Huckabee, dan bekas konsultan Bill Clinton, Dick Morris. Biaya pembuatannya sejuta dollar AS.
Tiras koran di Amerika Serikat turun 4-6 persen akibat pengaruh media internet. Kelompok Time yang terdiri dari 24 majalah memecat 600 karyawan, harian Christian Science Monitor stop terbit dan konsentrasi ke online.
Untuk meningkatkan tiras, Sun News dan lima koran itu memanfaatkan pilpres secara sensasional. Sistem pers libertarian tak menabukan dukungan-juga penolakan-terhadap Obama atau John McCain.
Sampai pekan lalu tercatat hampir 200 media mendukung Obama, lebih dari 40 mendukung McCain. Ingat, hampir 100 persen media tak berafiliasi ke Demokrat atau Republik.
Biasanya yang pro-Demokrat pers liberal, orientasi politik orisinal warisan Eropa yang terkandung dalam konstitusi 1776. Pers konservatif pro-Republik berbeda 180 derajat karena karakternya puritan.
Pers tak wajib mempraktikkan tabula rasa karena keberpihakan politik perlu. Namun, keberpihakan itu bukan kayak penggemar sepak bola fanatik yang maunya menang melulu dan kalau kalah bikin rusuh.
Justru pers AS menerapkan prinsip “bebas dan bertanggung jawab”. Contohnya, pembelaan terhadap Obama yang jadi korban kampanye negatif norak dan bertalu-talu.
Prinsip “bebas” dimaknai dengan keleluasaan pers membongkar latar belakang, prestasi, kegagalan, pemahaman, dan rencana setiap capres. Semuanya bermuara pada satu hal: karakter.
Nah, mengukur karakter bukan pekerjaan sukar karena “rekaman” tiap capres tercatat rapi. Jika Obama atau McCain punya karakter sebagai tukang ngibul, gampang melacaknya.
Anda datang ke polisi mencari data kejahatan yang pernah mereka lakukan. Itu sebabnya, Clinton sebelum menjadi capres mengaku pernah mengisap ganja dan Obama menikmati kokain.
Berbeda dengan George W Bush yang menyembunyikan tabiat doyan mabuk yang akhirnya ketahuan menjadi skandal. Tak heran ia dicap pembual, termasuk mengarang cerita senjata pemusnah massal di Irak.
Itu sebabnya mayoritas media tak mendukung Bush pada Pilpres 2004. Mereka “bertanggung jawab” dengan menyarankan publik jangan memilih Bush lagi.
Bahwa Bush menang lagi, itu soal lain. Pers hanya berusaha memengaruhi-bukan mendikte-opini publik yang dalam dunia bisnis dikenal dengan selera pasar.
Mustahil mengubah selera pasar. Ambil contoh selera pasar otomotif di sini yang gemar bertanya, “Bensinnya satu berapa?” atau, “Resale value-nya tinggi enggak?”
Padahal, rasio pemakaian BBM per kilometer tiap mobil beda-beda tipis. Uniknya, mobil belum dipakai, tetapi sang pasar sudah mikir mau menjualnya.
Pasar senang dimanja aneka aksesori yang kurang penting macam cup holder atau face lift. Harga mahal enggak apa-apa asalkan gaya.
Pasar kurang peduli dengan prinsip value for money, pengembangan mesin, atau keamanan. Mobil berkualitas yang harganya lebih murah belum tentu disukai pasar.
Begitu juga dengan politik capres yang marak belakangan ini. Entah mengapa, selera pasar makin sukar diprediksi karena berbagai faktor.
Persaingan capres di mana pun selalu dalam bilangan pekan dan bulan. Obama saja masih mungkin terpeleset andai salah ucap 1-2 kalimat pada hari-hari sebelum 4 November.
Faktor yang amat memengaruhi selera pasar capres di sini perilaku pemilih. Menjawab teka-teki ini mudah: dengarkan hit akhir 1960-an, “Berikan Daku Harapan” yang dilantunkan Tuti Subardjo.
“Berikan daku harapan/Ku jadikan kenangan”. Tak ada manfaatnya capres menawarkan harapan karena pasar, apa pun alasannya, memperlakukan capres jadi bahan nostalgia doang.
Iba melihat presiden sejak tahun 1998 karena selalu mengecewakan pasar walau kerja mati- matian. Soalnya pasar hanya percaya sebuah teori: presiden sebelumnya lebih baik daripada yang sekarang.
Buktinya, Bung Karno yang berjasa besar dihujat habis, Pak Harto dipuja-puja. Reformasi menjungkalkan Pak Harto, the king is dead and long live the king!
Datang era Pak Habibie, Gus Dur, Bu Mega, dan SBY-JK. Eh, ternyata hidup lebih enak di zaman Pak Harto!
Nah, yang “mati konyol” kami wartawan. Mau berpihak kebenaran dicurigai “main mata”, mau berbicara apa adanya ada yang “tak terima”, mau mengkritik digalaki “apa maksudnya?”
Lebih mati konyol lagi pers dikungkung UU yang mengancam pencabutan SIUPP jika dianggap tak adil memberitakan kampanye. Lha, apa yang mau dicabut kalau SIUPP enggak berlaku lagi?
Fenomena gaib ini di AS diledek, “Only in America….” Di sini, mengutip lirik sebuah lagu perjuangan, “Itulah Indonesia!”