Beranda Profil Yenny Wahid Putri Gus Dur, Aktivis Muda Moderat dan Toleran

Yenny Wahid Putri Gus Dur, Aktivis Muda Moderat dan Toleran

188
Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid, Putri kedua K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur)

Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid adalah seorang aktivis sosial-politik yang dikenal karena kampanyenya untuk membawa Islam kembali ke pesan inti perdamaiannya. Saat ini ia menjabat sebagai Direktur The Wahid Institute, sebuah pusat penelitian Islam yang didirikan oleh mendiang ayahnya, mantan presiden Indonesia K.H. Abdurrahman Wahid. Ia juga pernah menjabat sebagai Komisaris Garuda Indonesia sejak Januari 2020 hingga mengundurkan diri pada Agustus 2021.

Wahid Institute memperjuangkan pandangan Islam yang moderat dan toleran dengan memupuk kerukunan antara Islam dan budaya dan komunitas agama lain, dan memperkuat tata pemerintahan yang baik dan masyarakat sipil di Indonesia. Hal ini dicapai melalui publikasi, pelatihan dan diskusi.

Yenny Wahid meraih gelar sarjana dari Universitas Trisakti, Jakarta dan gelar Master di Harvard Kennedy School, AS. Dia dinobatkan sebagai Pemimpin Muda Global pada tahun 2009 oleh Forum Ekonomi Dunia.

Yenny Wahid kelahiran Jombang, 29 Oktober 1974 adalah anak kedua dari pasangan KH Abdurrahman Wahid (Gusdur) dan Sinta Nuriyah. Ia mempunyai seorang kakak, Alisa Wahid dan dua orang adik, Anita Wahid dan Inayah Wahid.

Seperti ayahnya, ia terlahir dalam lingkungan keluarga Nahdlatul Ulama. Pola pikirnya pun tidak jauh dengan ayahnya yang lebih mengedepankan Islam yang moderat, menghargai pluralisme dan pembawa damai.

Setamat dari SMA Negeri 28 Jakarta pada 1992, Yenny menempuh studi Psikologi di Universitas Indonesia. Kemudian atas saran ayahnya, Yenny memutuskan keluar dari Universitas Indonesia dan melanjutkan pendidikannya dalam Jurusan Visual di Universitas Trisakti. Ia kemudian melanjutkan studi administrasi publik di Universitas Harvard, Bostos.

Selepas mendapat gelar sarjana desain dan komunikasi visual dari Universitas Trisakti, Yenny memutuskan untuk menjadi wartawan.

Sebelum terjun secara khusus mendampingi ayahnya, Yenny bertugas sebagai reporter di Timor Timur dan Aceh. Ia menjadi koresponden koran terbitan Australia, The Sydney Morning Herald dan The Age (Melbourne) antara tahun 1997 dan 1999. Saat itu, meski banyak reporter keluar dari Timor Timur, Yenny tetap bertahan dan melakukan tugasnya. Ia sempat kembali ke Jakarta setelah mendapat perlakuan kasar dari milisi, namun seminggu kemudian ia kembali ke sana. Liputannya mengenai Timor Timur pasca referendum mendapatkan anugrah Walkley Award.

Yenny juga terlibat dalam peliputan atmosfer Jakarta yang mencekam menjelang Reformasi 1998. Pada saat itu, Ia juga pernah ditodong senjata oleh oknum anggota ABRI yang sedang berusaha mensterilkan jalan lingkar Trisakti. Belum terlalu lama menekuni pekerjaannya, ia berhenti bekerja karena ayahnya, Gus Dur, terpilih menjadi presiden RI ke-4. Sejak itu, kemanapun Gus Dur pergi, Yenny selalu berusaha mendampingi ayahnya, dengan posisi Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Politik.

Setelah Gus Dur tidak lagi menjabat sebagai presiden, Yenny melanjutkan pendidikanya dan memperoleh gelar Magister Administrasi Publik dari Universitas Harvard di bawah beasiswa Mason. Sekembalinya dari Amerika Serikat pada 2004, Yenny kemudian menjabat sebagai direktur Wahid Institute yang saat itu baru berdiri. Hingga kini ia menduduki jabatan tersebut.

Semasa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Yenny sempat mengabdi sebagai staf khusus bidang Komunikasi Politik selama satu setahun sebelum ia akhirnya menggundukan diri. Ia mengundurkan diri dengan alasan tidak ingin adanya perbedaan kepentingan dengan jabatannya pada Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) partai yang juga menaungi Gus Dur dan banyak tokoh NU lainnya. Yenny sempat menjabat sebagai sekretaris jenderal (sekjen) PKB selama 2005-2010. Namun, saat itu terjadi konflik internal partai yang menghadapkan Yenny dengan Muhaimin Iskandar atau Cak Imin, Ketua Umum PKB kini.

yenny cakmin

Yenny kemudian mendirikan partai politik sendiri dengan nama Partai Kedaulatan Bangsa. Kemudian pada 2012, Partai Kedaulatan Bangsa dan Partai Indonesia Baru (PIB), yang dipimpin oleh Kartini Syahrir, melebur menjadi satu dengan nama Partai Kedaulatan Bangsa Indonesia Baru (PKBIB). Yenny ditunjuk sebagai ketua umum partai tersebut.

Pada 2009, dia dinobatkan sebagai salah satu penerima penghargaan Young Global Leader oleh World Economic Forum. Yenny juga merupakan anggota dari Global Council on Faith. Pada 2018, Ia telah menyatakan dukungannya secara publik untuk pasangan Jokowi – Ma’ruf.

Pada 15 Oktober 2009 Yenny menikah dengan Dhorir Farisi. Pada 13 Agustus 2010, Yenny melahirkan putrinya, Malica Aurora Madhura Yenny kemudian melahirkan anak keduanya, Amira, pada 14 Agustus 2012. Ia melahirkan putri ketiganya, Raisa Isabella Hasna, pada 3 Maret 2014.

Baru-baru ini, Yenny Wahid yang juga sebagai Ketua Umum Federasi Panjat Tebing Indonesia (FPTI) dideklarasikan sebagai calon wakil presiden (cawapres) Partai Solidaritas Indonesia (PSI) untuk Pemilu 2024. Oleh PSI, nama Yenny disandingkan dengan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo yang diumumkan sebagai calon presiden (capres). Wakil Ketua Dewan Pembina PSI, Grace Natalie, menyebut, Yenny dipilih karena kualitas kepribadiannya. *** Berbagai sumber


Eksplorasi konten lain dari aswajanews

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.