Tebuireng, 1899, KH. Hasyim Asyari memulai pengajaran kitab-kitab yang beliau pelajari di Makkah dari guru-gurunya, yang sanadnya bersambung hingga Nabi Muhammad SAW. Beliau mengajarkan ilmu agama dan syariat selama beberapa tahun. Pada tahun 1917, KH. Hasyim Asyari mulai memperkenalkan ilmu-ilmu selain agama, seperti ilmu hitung, ilmu bumi, dan lainnya. Pada 1990, muncul nidhom, dan setelah kemerdekaan, muncul Tsanawiyah dan Aliyah. Pondok pesantren mengikuti perkembangan zaman dengan mengajarkan ilmu umum sebagai bekal santri untuk terjun ke masyarakat. Seiring dengan perkembangan ini, pondok pesantren di Tebu Ireng kini memiliki 13 lembaga pendidikan, termasuk Muallimin, Ma’had Aly, SMP, dan SMA, yang semuanya berbasis agama untuk mempersiapkan santri menghadapi kehidupan masyarakat.
Ilmu yang diajarkan di Tebuireng merupakan ilmu yang diwariskan oleh pendiri Tebu Ireng dan para pendiri NU. Ilmu ini harus dijaga dan dilestarikan, karena ilmu itu adalah warisan para nabi, ilmu yang membantu kita memahami jalan hidup agar hidup kita benar, sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW dan petunjuk Al-Qur’an. Ilmu ini telah bertahan lebih dari 1400 tahun, dan manfaatnya terus berlanjut, memberikan kebahagiaan, ketenangan, dan menjaga keimanan kita.
Saat ini, kita menghadapi degradasi ilmu. Oleh karena itu, mari kita kembali mengingat perjuangan para pendiri NU yang berjuang dengan ilmu untuk meraih kemerdekaan Republik Indonesia. Risalah Ahlussunnah wal Jamaah yang disampaikan pada 1981 merupakan bagian dari upaya tersebut. Sejak 1912, banyak aliran yang berkembang dan berseberangan dengan Ahlussunnah wal Jamaah, yang membuat umat Islam bingung. Sebelumnya, di Indonesia hanya ada satu paham, yaitu Ahlussunnah wal Jamaah dan mazhab Syafi’i. Perbedaan aliran ini menyebabkan perpecahan, yang kemudian diatasi oleh ulama dan pondok pesantren melalui konsolidasi pada 1921-1926, hingga lahirlah Nahdlatul Ulama (NU).
Apa yang dilakukan oleh KH. Hasyim Asyari adalah penguatan terhadap Ahlussunnah wal Jamaah yang telah ada di Indonesia. Oleh karena itu, umat Islam Ahlussunnah wal Jamaah adalah tuan rumah di Indonesia. Pada tahun 1937, KH. Hasyim Asyari mengumpulkan berbagai organisasi Islam, sekitar 13 organisasi, dan NU bergabung pada tahun 1938. Meskipun ada perbedaan antar organisasi seperti Habib, Muhammadiyah, dan lainnya, mereka tetap bisa bersatu berkat kedalaman ilmu yang dimiliki. Kita sering melihat perbedaan pendapat bahkan di majelis yang sepakat, namun pada 1938, KH. Hasyim Asyari menunjukkan contoh nyata tentang ukhuwah Islamiyah.
Fenomena-fenomena yang muncul di pesantren saat ini, seperti perundungan, ekstremisme, dan kekerasan, hampir tidak pernah terdengar di masa lalu. Oleh karena itu, kita perlu menjaga ilmu yang diwariskan oleh para nabi dan meneruskannya kepada generasi berikutnya. Dengan demikian, NU bisa kembali menjadi wadah bagi Ahlussunnah wal Jamaah, sebagaimana yang dilakukan KH. Hasyim Asyari pada tahun 1937 dan 1938, sehingga kita layak merasakan nikmat tersebut kembali.
Sebuah intisari dari ceramah yang disampaikan Oleh KH. Abdul Hakim Mahfudz dalam Halaqoh Pesantren Ramah Santri 2024 10 November 2014. ***