MEDAN (Aswajanews) – “Hukum jangan dijadikan alat pesanan. Jika keadilan mati di Pancurbatu, maka rakyat kehilangan harapan.” Kalimat keras itu disampaikan Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) TKN Kompas Nusantara, Adi Warman Lubis, dalam wawancara khusus di Medan, Minggu (30/11/2025). Pernyataan tersebut menanggapi tragedi pengeroyokan brutal terhadap Trisna Aditya Ginting yang hingga kini belum mendapatkan keadilan, meski peristiwa telah berlalu lebih dari 21 hari.
Proses Hukum Mandek Meski Alat Bukti Lengkap
Adi Warman Lubis menegaskan bahwa seluruh tahapan pokok penanganan perkara sejatinya telah terpenuhi. Mulai dari visum, pemeriksaan saksi, dokumen luka korban, hingga olah tempat kejadian perkara (TKP) dinyatakan telah dilakukan. Namun, lambannya penetapan status hukum para terduga pelaku yang hingga kini masih bebas berkeliaran dinilai mencederai rasa keadilan.
“Semua alat bukti sudah lengkap. Tapi anehnya, SP2HP baru diterima korban belakangan ini, itu pun diduga tanggalnya dimundurkan demi menutupi kelambanan prosedur. Ini bukan penegakan hukum, ini seperti administrasi yang direkayasa untuk pembenaran,” tegas Adi.


Korban Dipaksa Tinggalkan Rumah Sakit
Trisna mengungkapkan bahwa ia dikeroyok oleh seorang ibu dan anaknya, serta diduga melibatkan pelaku lain. Namun karena mata korban lebam dan penglihatan kabur akibat pukulan benda keras, laporan awal hanya mencantumkan dua terlapor. Proses pelaporan dilakukan dengan pendampingan warga dan Kepala Desa Setepanus Tarigan.
Ironisnya, saat korban masih menjalani perawatan di RS Umum Pancurbatu, seorang oknum polisi intel datang menggunakan mobil Avanza hitam dan memaksanya kembali ke Polsek Pancurbatu dengan alasan dipanggil Kapolsek. Padahal, tenaga medis menyarankan agar korban tetap dirawat karena kondisinya belum stabil. Peringatan tersebut diabaikan.
Sesampainya di Polsek, Trisna tidak bertemu Kapolsek sebagaimana dikatakan sebelumnya. Ia justru hanya dipertemukan dengan Kanit Junaedi, para terduga pelaku, dan keluarga mereka. Dalam keadaan babak belur, korban sempat diarahkan untuk berdamai secara kekeluargaan dan bahkan disebut sempat dilarang membuat Laporan Polisi.
“Saya datang dalam keadaan luka, bukan untuk berdamai. Saya butuh pertolongan dan keadilan, bukan tekanan,” ujar Trisna.
Setelah perdebatan panjang, korban akhirnya diizinkan membuat laporan serta menerima surat pengantar visum. Ia dipulangkan sekitar pukul 03.00 WIB dini hari dalam kondisi menahan nyeri hebat tanpa mendapat perawatan lanjutan yang memadai.
Visum Rumah Sakit Ditolak, Korban Terpaksa Periksa Ulang
Masalah berikutnya muncul ketika hasil visum RS Pancurbatu dinyatakan tidak sah oleh oknum penyidik, dengan alasan hanya visum dari RS Pringadi atau RS Brimob yang diakui. Akibatnya, Trisna harus mengulang seluruh rangkaian pemeriksaan medis.
Di RS Brimob, korban diwajibkan opname dan menjalani CT Scan lanjutan di RS Materna dengan biaya sekitar Rp 3 juta, yang dikumpulkan secara swadaya oleh warga.
Potret Kelam Penegakan Hukum
Menurut Adi Warman Lubis, peristiwa ini bukan sekadar kelalaian, tetapi menggambarkan pembiaran sistematis pada level penegakan hukum di bawah.
“Bukti lengkap, korban jelas, pelaku terang, tapi proses hukum mandek. Kalau hukum berjalan seperti ini, keadilan hanya menjadi sandiwara,” tegasnya.
Ia juga menyoroti dugaan minimnya respons dan tidak optimalnya kinerja Kanit serta penyidik yang menangani perkara tersebut.
“Ini indikasi kuat bahwa tugas pokok dan fungsi aparat tidak dijalankan sesuai prosedur hukum yang berlaku,”ujarnya.
TKN Kompas Nusantara Akan Tempuh Jalur Hukum
Melihat banyaknya kejanggalan, TKN Kompas Nusantara memastikan akan menempuh langkah hukum.
“Kami akan melaporkan kasus ini ke Propam Polda Sumut. Jika tidak ada respons tegas, kami akan menggelar aksi unjuk rasa. Ini bukan perjuangan satu korban, ini perjuangan rakyat mencari keadilan,” tegas Adi.
Ia mengungkapkan bahwa pihaknya menerima banyak laporan masyarakat terkait pola serupa: laporan lambat diproses, korban diabaikan, pelaku tidak tersentuh.
“Beginilah kepercayaan publik terhadap Polri runtuh akibat ulah segelintir oknum,” katanya.
Adi menambahkan, apabila Kapolda Sumut tidak segera mengambil tindakan tegas terhadap aparat yang diduga melanggar SOP, publik berpotensi menilai institusi kepolisian melakukan pembiaran.
“Kalau ini dibiarkan, rakyat akan memandang institusi Polri tidak lagi berdiri membela keadilan, tetapi menjadi perisai bagi pelanggaran internal,” ujarnya.
Hingga berita ini diterbitkan, para terduga pelaku masih bebas berkeliaran. Upaya konfirmasi awak media kepada jajaran Polsek Pancurbatu melalui pesan WhatsApp belum mendapatkan jawaban.
(Tim)
Eksplorasi konten lain dari aswajanews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
































