Ekonomi, Bisnis dan UMKM

Tingkatkan Nilai Ekonomi Usaha Lewat HAKI

BANDUNG (Aswajanews.id) – Bagi para pelaku usaha yang ingin melejitkan nilai ekonominya, mendaftarkan Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI) bisa menjadi salah satu jawabannya. Banyak manfaat yang bisa didapat para pelaku usaha yang telah mendaftarkan brandnya untuk memiliki HAKI.

Ditemui pada acara Takjub Akbar di Sabuga, Jumat 27 Januari 2023, Kepala Kantor Wilayah Kemenkumham Jabar, R. Andika Dwi Prasetya menyampaikan, pihaknya hadir untuk mensosialisasikan kepada para pelaku UMKM untuk mendaftarkan kekayaan intelektual produk-produk mereka seperti Merek.

“Menjadi penting bagi mereka untuk mengamankan dari aspek hukum agar di kemudian hari ketika karya mereka ini telah memiliki nilai ekonomi yang bagus, sulit bagi para oknum memanfaatkan merek mereka secara ilegal,” ungkap Andika.

Terlebih di era digitalisasi seperti sekarang ini, sudah menjadi penting bagi merek usaha untuk memiliki kekuatan hukum. Sebab ke depannya, dengan merek yang terdaftar tersebut pasti nilai ekonominya akan semakin tinggi.

“Kami pastikan merek yang terdaftar tersebut nilai ekonominya akan semakin tinggi. Produk akan semakin bernilai,” ujarnya.

Sementara itu, Penyidik Pegawai Negeri Sipil Kekayaan Intelektual Kemenkumham Jabar, Hafni Zanna Dewi menjelaskan beberapa manfaat yang diperoleh para pelaku usaha jika mendaftarkan brandnya.

Pertama, mampu menaikkan nilai ekonomi dari barang yang sudah didaftarkan mereknya.

Kedua, menjadi pembeda dengan merek lainnya. Ketiga, meningkatkan kredibilitas.

“Lebih aman dan terlindungi untuk berjualan menggunakan brand tersebut. Apalagi sekarang sertifikat merek itu sudah bisa digadaikan ke bank,” ucapnya.

Menurutnya, terkadang UMKM sering merasa belum perlu untuk mendaftar kekayaan intelektualnya karena masih skala kecil. Namun, ia menegaskan, harus diingat kalau semua usaha itu pasti dimulai dari kecil.

“Khawatirnya saat nanti sudah mulai berkembang, tapi masih belum mendaftarkan brandnya, jika terjadi kasus, maka akan sulit untuk mempertahankan brand tersebut,” tuturnya.

Oleh karena itu, para pelaku usaha harus bisa membedakan HAKI mana yang ingin didaftarkan. Sebab, paradigma yang dibangun banyak orang biasanya ingin mematenkan nama merek ciptaannya. Padahal, menurut Hafni, kondisi tersebut sudah merupakan tiga hal berbeda.

“Di kekayaan intelektual itu ada merek, paten, hak cipta, desain industri, desain tata letak sirkuit terpadu, indikasi geografis, serta rahasia dagang. Jadi, para pelaku usaha silakan memilih bagian mana yang ingin didaftarkan HAKI,” paparnya.

Ia mencontohkan, pada ponsel ada hak kekayaan intelektualnya berupa merek. Untuk kategori hak paten, terdapat pada chip dan hal lain yang ada di dalam mesin.

Kemudian hak cipta, ada software aplikasi. Sedangkan untuk hak desain tata letak sircuit terpadu seperti chip di dalam ponsel tersebut. Lalu, hak desain industri disesuaikan dengan bentuk ponselnya.

“Jangan salah istilah lagi. Misalkan, saya mau patenkan merek. Itu tidak bisa karena paten itu kita bicara tentang teknologi. Sedangkan merek, kita bicara tentang nama brandnya,” jelasnya.

Untuk menyosialisasikan HAKI, Kemenkumham bekerja sama dengan Dinas KUKM, Dinas Pariwisata, dan Dinas Perdagangan. Apalagi untuk pendaftaran merek itu ada dua jenis, pertama untuk umum, kedua untuk UMKM.

“Untuk pendaftaran merek, bagi kategori umum hanya menyertakan label merek, e-tiket logo, tanda tangan pemohon. Sedangkan untuk UMKM ditambahkan persyaratan surat pernyataan dan surat rekomendasi,” katanya.

Semua persyaratan dan alur pendaftaran bisa diakses di www.dgip.go.id. Para pelaku usaha hanya tinggal memilih sesuai dengan hak kekayaan intelektual apa yang ingin didaftarkan.

Meski begitu, ia mengimbau agar para pelaku usaha tetap mendaftarkan kekayaan intelektual brandnya. Sebab HAKI menganut sistem first to file atau mendahulukan pendaftar awal.

“Bukan seberapa lama merek itu digunakan. Meski sudah 20 tahun pakai merek itu, tapi ternyata ada yang sudah lebih dulu mendaftarkan merek tersebut, ya si pengguna awal tidak bisa apa-apa,” terangnya.

Saat barang sudah didaftarkan, maka akan diproses dari pusat. Sebelum keluar sertifikat sebagai legalitas yang paling kuat, nanti akan keluar cetak resi. Resi itu yang akan memberi penguatan jika kita sudah mendaftar sebuah brand.

“Toh sekarang sudah bisa pendaftaran melalui online. Nahh… sekarang bagaimana untuk mencegah penolakan, maka kami rekomendasikan berkonsultasi bersama tim kami sebelum mendaftar,” ungkapnya.

Melalui konsultasi, pihaknya bisa membantu memberi pengetahuan dasar merek apa saja yang tidak bisa didafatarkan dan mana yang boleh. Merek yang tidak bisa didafatarkan adalah merek yang memiliki persamaan pada keseluruhan atau sebagian dari merek.

“Misal, ada merek Biodef. Saya mau daftarkan merek Bioduuff. Itu tidak bisa, pasti ditolak. Apalagi kalau kelasnya sama,” jelasnya.

Selain itu, tidak boleh menggunakan nama merek yang menyimpang dari peraturan perundang-undangan dan norma agama.

“Dulu pernah ada merek Bajingan dan Kehed. Jika masih ditemukan merek-merek dengan nama yang tidak senonoh, berarti merek itu belum didaftarkan,” akunya.

Mendaftar HAKI memang bukan kewajiban dari sebuah usaha. Namun, akan menjadi wajib jika terjadi kasus.

Untuk pendaftaran hak merek bagi UMKM dikenakan biaya sebesar Rp500.000. Sedangkan untuk umum Rp1,8 juta. Ini berlaku sampai 10 tahun.

“Harus diperpanjang H-6 bulan sebelum masa berlaku sertifikat habis. Untuk biaya perpanjangan 6 bulan sebelum Rp2.250.000. Kalau sudah lewat masanya, biayanya naik jadi Rp4 juta,” ujarnya.

Ia yakin dalam 10 tahun, usaha tersebut sudah lebih besar dan berkembang. Terlebih dengan perlindungan yang negara telah berikan untuk brand para pelaku usaha sudah sangat maksimal. Maka, nominal sebanyak itu merupakan angka yang tak terlalu besar jika dihitung untuk 10 tahun.

“Pendaftar KI di Jawa Barat tertinggi se-Indonesia. Ini membuktikan jika masyarakat atau pelaku usaha kita tertib administrasi dan peduli dengan hak kekayaan intelektual. Termasuk Kota Bandung,” imbuhnya. (Diskominfo)