Nusantara

Terpapar Radikalisme, Diiming-imingi Surga

Kab. Garut (Aswajanews.id) – Kantor Kementerian Agama Kab. Garut bersama pemerintahan setempat, terus berupaya untuk merangkul kembali warga yang terpapar paham radikal. Banyak di antara mereka yang tidak mengakui sebagai WNI, hanya karena ikut-ikutan dan diberi iming-iming masuk surga tanpa harus melaksanakan kewajiban syariat.

Hal itu diungkapkan Kepala Kantor Kementerian Agama Kab. Garut, Dr. H. Cece Hidayat, M. Si, dalam acara Dialog Kebangsaan bertema “Membangun Moderasi Beragama, Mengelola Keberagaman, Meneguhkan KeIndonesiaan”, di Harmoni Hotel, Kamis (30/06/2022).

Hadir pada acara itu Kepala Kanwil Kementerian Agama Jabar, Drs. H. Ajam Mustajam, M. Si., Wakil Bupati Dr. H. Helmi Budiman, dan jajaran pejabat Forkpinda Garut, perwakilan ormas Islam dan para tokoh berbagai agama.

Pemateri dalam kegiatan tersebut adalah KBP H. Djoni Djuhana, S.I.K., M. Si (Kasatgaswil Jawa Barat Densus 88 AT) dan K.H. Thontowi Djauhari Musaddad, LC., MA.,rais syuriah Pimpinan Cabang NU Garut, sekaligus pengasuh Pesantren Luhur Al-Wasilah di Jalan Cipanas, Tarogong, Garut.

Menurutnya, kegiatan dialog kebangsaan digelar bukan karena latah. Akan tetapi Garut memang sangat dinamis dan sedang menjadi sorotan dalam kaitan paham radikal. Berdasarkan catatan, dari 41 dari 42 kecamatan terpapar paham radikal.

“Fenomena yang terjadi Garut memang dinamis dan  luar biasa. Saya telah menjabat sebagai kepala Kantor Kemenag di 8 daerah di Jabar. Di Garut inilah saya merasakan sungguh luar biasa dinamikanya,” ujar Cece Hidayat.

Berbagai elemen di Garut bekerja sama untuk mengatasi persoalan radikalisme tersebut. Pemkab Garut, Kementerian Agama, para ulama, serta pihak keamanan terus berupaya untuk menyadarkan warga yang menyatakan diri bukan WNI, agar kembali ke pangkuan NKRI.

Tidak perlu shalat

Pemerintah telah membuat satgas untuk menangkal paham radikalisme. Itu berarti pemerintah sudah sangat peduli agar di Garut terwujud suasanan aman dan nyaman. Melalui bahasa agama, insya Allah mereka dapat dilunakkan, hatinya tersentuh dan kembali seperti semula.

Beberapa hari lalu, Kemenag Garut, bersama pemerintah daerah, MUI, Densus 88, dan para penyuluh agama, melaksanakan deklarasi kembalinya warga yang terpapar paham radikal itu ke NKRI. Ini sebuah langkah yang penting, hasil dari kerja sama berbagai pihak.

“Ada sebuah kejadian yang kami alami. Saat deklarasi 200 warga di Selatan itu, saya berbincang dengan seorang ibu, yang tidak mengakui sebagai WNI. Dia diajari gurunya tidak shalat. Sebagai gantinya, cukup membayar infak Rp 25.000. Dijamin akan selamat dan masuk surga. Ini merupakan pembodohan kepada umat,” jelas Cece.

Mereka berada di pelosok Garut selatan, yang hanya bisa dijangkau dengan naik ojek beberapa kali dan berjalan kaki. Ini menjadi tugas berbagai pihak terkait untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat yang mudah dibodohi itu. Harus terus menerus tanpa batas waktu.

Pada kesempatan itu, Cece memberikan penghargaan kepada 10 tokoh agama dan tokoh masyarakat yang berperan aktif, mengajak dan merangkul kembali warga terpapar radikalisme ke pangkuan NKRI.

Mereka yang menerima penghargaan,  KH. Hasan Basari (Ketua MUI Kec. Pamengpeuk), Nurul Barkah (Kec. Cibalong), H. Abdaullah (Kec. Cibalong), Hikmat Hidayat S. Pd (Kec. Pendeuy), Usu Sulaeman (Kec. Cikelet), H. Zaenal Arif, S. Ag . M Ud (Ketua MWCNU Kec. Cikelet), Odang Darmawan (Wakil Ketua MWCNU Kec. Cisompet), Asrihuddin S. Pd. (Kec. Cibalong), Khaeruddin (Kec. Cikelet), dan Uban (Kec Cikelet).

Kejayaan Indonesia

Sementara itu Wakil Bupati Helmi Budiman mengatakan, pada tahun 2040 Indonesia bakal memimpin dunia. Untuk itu dibutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas. Jika tidak bisa menangani stunting, Indonesia bisa kehilangan sebagian sumber daya manusia yang berkualitas. Jangan sampai tidak jadi pimpinan dunia gara-gara stunting.

Kejayaan Indonesia itu harus diusahakan oleh komponen komponen bangsa. Kejayaan bukan hanya dalam sejarah saja. Dia berharap, dialog kebangsaan akan melahirkan sumber daya manusia yang berkualitas, bersatu untuk menyongsong kejayaan Indonesia tahun 2040.

“Saya punya rasa optimis, membangun sumber daya manusia yang berkualitas itu, salah satunya adalah menyatukan kita sebagai sebuah bangsa. Saya memberikan apresiasi membangun moderasi beragama harus moderat. Umat kita adalah umat pertengahan,” tutur Helmi.

Orang yang makin lengkap mempelajari agama, katanya, akan melahirkan moderasi beragama, berbeda dengan orang yang mempelajari agama dengan setengah-setengah. (Kontributor : Eva Nurwidiawati)