Beranda Kajian Semua Manusia Pasti Mati, Tapi Tidak Semua Memberi Arti

Semua Manusia Pasti Mati, Tapi Tidak Semua Memberi Arti

110
Oleh: A’isy Hanif Firdaus, S.Ag.

Disclaimer: Tulisan ini tidak bermaksud menggurui, apalagi mengajari siapa pun. Ini hanyalah sebuah refleksi — renungan atas pilihan hidup kita bersama sebagai manusia yang berbagi ruang di bumi ini.

Kematian adalah satu-satunya kepastian yang tak bisa dihindari oleh siapa pun. Tak peduli seberapa kaya, cerdas, berkuasa, atau sederhana seseorang, ujung dari kehidupan tetaplah sama: kematian. Namun, di balik kepastian itu, ada satu pertanyaan yang jauh lebih penting: Apakah hidup yang kita jalani meninggalkan arti?

Banyak manusia hidup hanya mengikuti arus. Terjebak dalam rutinitas, tenggelam dalam hiruk-pikuk dunia, tanpa sempat bertanya:
“Apa makna keberadaan saya di dunia ini?”

Mereka mungkin sukses secara materi, dikenal banyak orang, atau hidup dalam kenyamanan. Tapi semua itu belum tentu berarti bahwa mereka memberi arti.
Karena arti bukan soal popularitas atau prestasi yang bisa dihitung dengan angka. Arti adalah tentang dampak, kebaikan, dan jejak yang tertinggal bahkan setelah seseorang tiada.

Ada orang yang hidup sederhana, mungkin tak dikenal luas, tapi kebaikannya menyalakan harapan bagi sesama.
Ada yang kata-katanya menjadi penghibur, tindakannya menjadi penolong, atau kehadirannya menjadi kekuatan.
Orang-orang seperti inilah yang hidupnya memberi arti — bukan sekadar mengisi hari-harinya dengan hidup, tapi juga memberi makna bagi kehidupan orang lain.

Kematian adalah keniscayaan, Tapi memberi arti adalah pilihan.

Pertanyaannya bukan lagi, “Kapan saya akan mati?”
melainkan, “Apa yang akan saya tinggalkan ketika saya mati?”

Sebab pada akhirnya, hidup yang bermakna bukan diukur dari seberapa lama kita hidup,
tetapi seberapa besar hidup kita memberi manfaat bagi orang lain.
(*) Membaca dengan kesadaran adalah cara paling jujur untuk belajar.
Bukan sekadar menelan isi tulisan, tapi benar-benar merasakan, merenungkan, dan menghidupkannya.
Namun tetap, jangan langsung percaya — termasuk pada tulisan ini.

Percayalah dulu pada dirimu sendiri.
Percaya pada proses yang kamu jalani, pada pengalaman yang kamu alami.
Karena setiap orang punya jalannya masing-masing.
Dan sering kali, kebenaran sejati muncul dari dalam, bukan dari luar.

Tulisan ini hanyalah ajakan berpikir.
Bukan kebenaran mutlak.
Kamu bebas setuju, bebas pula untuk tidak.

Yang penting:
Jangan berhenti bertanya.
Jangan berhenti merasa.
Dan yang terpenting:
Jangan lupa mendengarkan dirimu sendiri.

Wallahu A’lam Bish Shawab