Di tengah realitas sosial yang semakin dipenuhi ketidakpastian, ketika berita berubah lebih cepat daripada jeda napas dan opini publik mudah tersulut oleh narasi yang tak selalu jernih, kita seakan kehilangan tempat untuk berpijak. Dunia hari ini tidak hanya bergerak cepat, tetapi juga kerap bergerak tanpa arah yang jelas, membuat banyak orang merasa tercerabut dari rasa aman baik secara sisi sosial, politik, maupun moral. Dalam situasi seperti ini, kita sesungguhnya diajak untuk menoleh ke belakang, bukan untuk kembali ke masa lalu, tetapi untuk menemukan kembali nilai-nilai yang membuat kepemimpinan tetap manusiawi. Nilai-nilai yang mengedepankan keberpihakan, keberanian moral, dan kemanusiaan yang membebaskan nilai yang dahulu begitu dijaga dengan penuh keteguhan oleh Almarhum KH. Abdurrahman Wahid, atau yang dikenal Gus Dur.
Gus Dur pernah membuktikan bahwa pemimpin tidak harus sempurna untuk bisa berlaku adil, dan tidak perlu memiliki kekuatan besar untuk membela mereka yang lemah. Yang dibutuhkan hanyalah kesadaran mendalam bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan hak istimewa bahwa setiap kebijakan memiliki konsekuensi bagi kehidupan nyata manusia, bukan sekadar angka dalam laporan negara. Di tengah dunia yang semakin terpolarisasi oleh identitas, ketakutan, dan kepentingan ekonomi, pelajaran moral dari Gus Dur terasa seperti oase yang menenangkan: bahwa kemanusiaan harus selalu berada di garis depan setiap keputusan.
Ketika banyak pemimpin hari ini terjebak dalam logika popularitas, citra, dan kepentingan jangka pendek, nilai-nilai yang diwariskan Gus Dur mengingatkan kita bahwa tugas pemimpin yang sejati adalah menentramkan, bukan menakut-nakuti; merangkul, bukan memecah; dan memastikan bahwa setiap individu apa pun agamanya, etnisnya, atau latar sosialnya memiliki ruang yang aman untuk berdiri tegak sebagai manusia. Di sinilah pentingnya kembali memahami dan menghidupkan nilai-nilai kemaslahatan, kebebasan, dan keberadaban yang selalu menjadi fondasi gerak Gus Dur dalam memandang dunia.
Dalam suasana tak menentu seperti hari ini, kita membutuhkan lebih dari sekadar regulasi dan teknologi. Kita membutuhkan keteladanan moral. Kita membutuhkan nilai-nilai yang membuat kekuasaan tidak berubah menjadi alat penindas, tetapi menjadi jembatan menuju kehidupan yang lebih adil bagi semua. Dan ketika kita mencari nilai itu, nama Gus Dur selalu muncul sebagai lentera bukan karena beliau sempurna, tetapi karena beliau menunjukkan bahwa kepemimpinan yang manusiawi bukanlah utopia. Hal ini bisa diwujudkan, karena keberanian untuk menempatkan kemaslahatan rakyat di atas kepentingan apa pun.
Mari kita kembali mengurai Kaidah fikih klasik “Tasharruf al-imām ‘ala al-ra‘iyyah manūṭun bi al-maṣlaḥah” mengandung pesan mendasar bahwa setiap kebijakan pemimpin harus berorientasi pada kemaslahatan rakyat. Dalam tradisi pemikiran Islam, kaidah ini bukan sekadar aturan normatif, tetapi etika kepemimpinan yang menuntut pemimpin menjadi pelayan, bukan penguasa yang meminta dilayani. Kaidah ini menemukan ruhnya secara sangat kuat dalam pemikiran dan praktik kepemimpinan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sosok yang menjadikan kemanusiaan sebagai titik pusat segala tindakan.
Menurut cara pandang Gus Dur, kemaslahatan bukanlah konsep abstrak yang hanya hidup dalam kitab, melainkan sesuatu yang harus dirasakan nyata oleh rakyat: rasa aman, perlindungan hak-hak minoritas, ruang kebebasan, dan peluang hidup yang adil bagi semua. Gus Dur memandang bahwa pemimpin tidak boleh terperangkap dalam kepentingan kelompok atau identitas apa pun agama, etnis, maupun golongan karena kepemimpinan yang baik sejatinya mengayomi semua. Dalam perspektif beliau, “maslahah” terutama adalah keberpihakan kepada yang paling lemah, kepada mereka yang paling mudah terpinggirkan oleh sistem sosial, politik, maupun ekonomi.
Cara Gus Dur menjalankan kaidah ini tampak dalam berbagai keputusan kontroversial pada masanya: membela etnis Tionghoa, melindungi kelompok minoritas agama, membuka ruang demokrasi pasca-otoritarianisme, hingga menghapus warisan diskriminatif yang bertahun-tahun dianggap wajar. Kebijakannya sering kali dianggap “tidak populer”, tetapi justru itulah bukti bahwa kemaslahatan tidak selalu selaras dengan suara mayoritas. Maslahah, bagi Gus Dur, adalah keberanian moral untuk memastikan bahwa negara tidak boleh menyakiti warganya, sekecil apa pun kelompok itu.
Dalam konteks era saat ini, ketika ruang digital, politik identitas, dan perubahan sosial bergerak begitu cepat, kaidah tersebut justru semakin relevan. Kepemimpinan modern sering kali terjebak pada pencitraan, popularitas, atau polarisasi politik yang sengaja dipelihara. Padahal, pemimpin seharusnya berpihak pada kebijakan yang memperkuat persatuan, mengurangi ketimpangan, dan melindungi hak setiap warga negara untuk hidup bermartabat.
Implementasi kaidah ini terlihat dalam beberapa aspek kehidupan kontemporer;
Pertama, dalam kebijakan publik. Pemimpin dituntut menetapkan kebijakan berbasis data, bukan kepentingan politik, serta memastikan distribusi kesejahteraan yang adil, mulai dari pendidikan, kesehatan, hingga akses ekonomi digital. Kemaslahatan berarti kebijakan harus memperkecil jurang antara yang kuat dan yang lemah.
Kedua, dalam pengelolaan keberagaman. Di tengah maraknya intoleransi dan ujaran kebencian di media sosial, pemimpin baik di tingkat negara maupun komunitas wajib menjaga ruang aman bagi setiap warga, apa pun latar belakangnya. Ini sejalan dengan legacy Gus Dur yang memuliakan pluralisme sebagai bagian dari maslahah bersama.
Ketiga, dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Kaidah ini mengajarkan bahwa setiap orang pada level apapun kepala keluarga, guru, pengurus organisasi, hingga pemimpin informal harus menempatkan kemaslahatan sebagai kompas moral. Di era digital, ini juga berarti bijak menggunakan ruang maya: tidak menyebar hoaks, tidak menguatkan permusuhan, serta menghadirkan konten yang mendidik dan bermanfaat.
Pada akhirnya, kaidah “Tasharruf al-imām ‘ala al-ra‘iyyah manūṭun bi al-maṣlaḥah” menemukan wujudnya paling kuat ketika kita mengikuti jejak Gus Dur: menjadikan kepemimpinan sebagai jalan pengabdian dan keberpihakan. Kemaslahatan bukanlah slogan, tetapi tindakan nyata yang melindungi martabat manusia. Di tengah dunia yang terus berubah, prinsip ini menjadi pagar etis sekaligus harapan bahwa kekuasaan hanya berarti jika membuat hidup rakyat lebih adil, lebih aman, dan lebih manusiawi.
Wallahualam A’lam Bishowwab
Penulis: A’isy Hanif Firdaus
Eksplorasi konten lain dari aswajanews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.































