Beranda Kajian Relevansi Idul Adha: Belajar dari Ismail, Merenung dari Palestina

Relevansi Idul Adha: Belajar dari Ismail, Merenung dari Palestina

204
Oleh : Akhmad Miftahusalam (Staf bagian Kesekretariatan MHM PP Lirboyo Kediri)

Hari raya Idul Adha selalu menjadi momen untuk mengenang kisah luar biasa antara Nabi Ibrahim ‘alaihissalam dan putranya, Nabi Ismail ‘alaihissalam—sebuah kisah tentang ketaatan dan keimanan yang agung. Perintah Allah kepada Nabi Ibrahim ‘alaihissalam untuk menyembelih putranya adalah ujian yang luar biasa berat. Namun dengan hati yang tunduk dan penuh keyakinan, Nabi Ismail justru meneguhkan ayahnya agar menjalankan perintah tersebut. Nabi Ismail berkata:

يٰٓاَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُۖ سَتَجِدُنِيْٓ اِنْ شَاۤءَ اللّٰهُ مِنَ الصّٰبِرِيْنَ

“Wahai ayahku! Laksanakanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar” (QS. Ash-Shaffat: 102).

Kisah ini merupakan simbol pengorbanan dan keimanan sejati – sebuah pelajaran lintas zaman, termasuk bagi sebagian besar kita di Idul Adha 1446 H ini yang mulai disibukkan dengan mempersiapkan hewan qurban sebagai bentuk ketaatan. Sementara itu, rakyat Palestina di Gaza masih terus membuktikan bahwa mereka menanggung qurban yang jauh lebih besar. Pengorbanan darah, harta, keluarga dan nyawa demi menjaga tanah suci dan kehormatan Islam.

Menjelang Iduladha, sebuah akun Instagram membagikan potret memilukan dari Gaza: masjid-masjid yang hancur, anak-anak menangis sambil memeluk jenazah orang tua mereka, dan keluarga-keluarga yang kehilangan tempat tinggal. Dalam unggahan tersebut, tertulis sebuah keterangan yang menggugah hati: ‘Iduladha di Gaza: kami tak punya hewan qurban, tapi kami telah berqurban dengan seluruh yang kami miliki. Doakan kami.’ (@eye.on.palestine, 30/06/2025). Gambaran ini sungguh mengguncang nurani. Maka pertanyaannya, apa yang sudah kita korbankan untuk Islam? Kita tidak diminta darah atau nyawa, namun sering kali waktu, tenaga, dan kepeduliaan pun terasa terlalu berat.

Berislam secara kaffah berarti tidak memisahkan antara ibadah ritual seperti qurban dan realitas sosial umat. Justru, ibadah qurban menjadi momen muhasabah diri: apakah kita hanya menyembelih hewan, atau juga egoisme, cinta dunia, dan sikap tidak peduli? Allah swt memerintahkan kita untuk peka terhadap penderitaan sesama dan mengambil peran aktif dalam perubahan. Rasulullah shallallahu alaihiwasalam bersabda:

مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَراً فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَستَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيْمَانِ

“Siapa saja di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim, No. 49).

Inilah saatnya untuk membangun kembali kesadaran ideologis, bahwa pengorbanan yang diperintahkan Allah tidak terbatas di atas altar hewan qurban, melainkan meluas hingga ke tanggung jawab kita sebagai umat yang satu tubuh.

Kekuatan politik umat Islam dalam bingkai negara Islam kaffah yang pernah menjaga Palestina selama berabad-abad adalah bagian dari solusi struktural yang tidak bisa dilupakan, karena hanya dengan kekuatan nyata dan kepemimpinan Islam global, penjajahan atas Al–Aqsa bisa benar-benar berakhir. Mari kita bersikap dengan membela, berjuang, dan menyatukan langkah demi tegaknya Islam kaffah. ***


Eksplorasi konten lain dari aswajanews

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.