Tulisan ini berangkat dari peta pemikiran seorang politisi santri yang konsisten dengan etika dan moral dalam berpolitik. Dia adalah Gus Syaffa, seorang alumni santri Al Falah Ploso yang saat ini menjadi anggota legislatif Provinsi Jawa Tengah dari PKB. Nilai etika yang selalu dijunjung tinggi menjadikan dirinya sebagai sosok yang bisa bergaul dengan siapapun.
Dalam kesempatan mendampingi Gus Syaffa saat menjadi nara sumber dalam kegiatan Halaqoh Kebangsaan, Penulis memberikan beberapa catatan penting atas narasi paparan Gus Syafa dihadapan warga NU kecamatan Wanasari Kab Brebes. Halaqoh Kebangsaan dalam rangka Hari Santri yang diselenggarakan oleh MWCNU Wanasari di Pondok Pesantren As Syamsuriyyah bertajuk, Kiprah Santri dalam Politik Kerakyatan dan Kebangsaan”. Tema ini sengaja disodorkan untuk Gus Syaffa, karena dirinya sebagai praktisi politik yang berbasis santri. Berbeda dengan tema yang dipaparkan oleh Gus Sholah selaku Ketua PCNU Brebes dalam forum Halaqoh tersebut.
Sebagai santri yang terjun dalam dunia politik,Gus Syaffa sangat mengedepankan etika santri dalam membuat narasi yang disuguhkan dihadapan peserta Halaqoh. Ketika bicara “Politik Kebangsaan” menurut Gus Syaffa, menjadi tanggung jawab NU yang sudah memiliki pedoman dalam berpolitik. Maka harus dibedakan antara politik kebangsaan dan politik kekuasaan yang menjadi tanggung jawab partai politik. Politik kebangsaan dan kerakyatan yang diperankan oleh NU sudah dijalankan semenjak negeri ini (Indonesia) belum merdeka. Para Kyai Pesantren telah berjuang baik sebelum kemerdekaan atau pasca kemerdekaan untuk mempertahankan NKRI. Namun demikian para Kyai dan Ulama yang sudah jelas jelas memberikan kontribusi kepada bangsa dan negara, kehadiran pemerintah belum berbanding lurus dengan kiprah yang selama ini sudah dilaksanakan. Inilah yang mesti kita perjuangkan terus menerus dengan menjaga kekuatan kebersamaan.
Gus Syaffa, menyoroti, kebanggaan santri ketika mendapatkan hadiah “Hari Santri” sebagai afirmasi pemerintah terhadap peran Kyai Pesantren dan Ulama, secara lebih khusus NU. Pada satu sisi pemerintah mengapresiasi peran Kyai Pesantren dengan diterbitkannya Kepres Hari Santri. Akan tetapi disisi yang lain kebijakan pemerintah saat sekarang masih belum berpihak sepenuhnya kepada komunitas Pesantren. Tentu hal ini yang membutuhkan perjuangan dan kekompakan kita bersama dalam satu barisan.
Menyinggung pergerakan yang dilakukan oleh pihak yang disebut dengan parlemen jalanan (mereka yang sering demonstrasi) meskipun sedikit tapi kompak satu komando,menurut Gus Syaffa, ini berbeda dengan kita komunitas santri yang mengedarkan nilai nilai etika.Sangat tidak pantas kalau komunitas bersarung dan peci harus berteriak dengan yel yel seperti mereka yang bukan santri.
Meskipun disisi yang lain terkadang tergiur dengan langkah pragmatis yang dilakukan oleh para politisi. Sehingga pada akhirnya bicara pilihan politik bisa berbeda,hanya karena kepentingan sesaat. Padahal politik kebangsaan bukan hanya untuk kepentingan sesaat atau kelompok tertentu, akan tetapi politik tingkat tinggi (high politis) yang lebih mengedepankan nilai kepentingan bangsa dan negara.
Lebih dari itu tentu, bagaimana pusaran kebijakan Pemerintah diwarnai dengan keberpihakan kepada kita untuk kepentingan bangsa dan negara. Maka disitulah politik kekuasaan sangat penting untuk mewujudkan politik kebangsaan. Dengan demikian antara politik kebangsaan dan politik kekuasaan menjadi gerakan (harokah siyasah) dengan instrumen yang berbeda.
Sebagai politisi Santri, dihadapan Gus Sholah selaku Ketua PCNU Kab Brebes, Gus Syaffa mengedepankan nilai nilai ketawadhuan, dan hormat kepada keilmuan Gus Sholah dalam forum Halaqoh Kebangsaan yang dilaksanakan pada hari Ahad, 13 Oktober 2024. (*)