Era digital telah membawa perubahan signifikan dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam bidang pendidikan. Kemajuan teknologi informasi menuntut setiap individu untuk memiliki kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan adaptif agar mampu bersaing dan berkontribusi secara produktif dalam masyarakat modern. Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam yang telah lama menjadi benteng moral dan pusat pengajaran keagamaan, kini dihadapkan pada tantangan untuk menyiapkan santri yang tidak hanya unggul dalam ilmu agama, tetapi juga memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan zaman, salah satunya adalah kemampuan Computational Thinking (CT).
Computational Thinking merupakan pola pikir yang memungkinkan seseorang untuk memecahkan masalah secara sistematis, logis, dan efisien dengan pendekatan yang sering digunakan dalam dunia komputasi. Pola kerja Computational Thinking menuntut seseorang bersikap dan bertindak secara disiplin, teratur, dan konsisten dalam menyelesaikan banyak permasalahan yang sedang dihadapi sehari-hari, sehingga secara bertahap seseorang yang ber- Computational Thinkingakan terlatih dalam mengembangkan keterampilan analisis, kreatifitas, dan inovasi. Penerapan CT tidakterbatas pada bidang teknologi saja, tetapi dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari, termasuk dalam menyelesaikan persoalan sosial dan keagamaan. Sayangnya, keterampilan ini masih jarang menjadi perhatian dalam sistem pendidikan pesantren yang umumnya lebih menitikberatkan pada penguasaan ilmu-ilmu agama secara tradisional.
Secara sederhana pola Computational Thinking bisadisimpulkan menjadi empat dasar kerangka berfikir bagi seseorang yang hidup di era digital yang menuntut untuk bertindak secara cepat, efisien, efektif dan terarah. Dasar pertama adalah Decomposition, yaitu proses memecah masalah besar menjadi bagian yang lebih kecil, misalnya adalah masalah-masalah real yang sering dihadapi oleh para santri di pesantren, seperti menghafal al-quran. Menghafal al-quran bisa dikatakan sebuah masalah besar, namun jika santri sudah dibekali dengan Computational Thinking, maka dia bisa mengurai tugas menghafal al-quran dengan pola decomposition, yaitu memulai hafalan dari surat-surat pendek, sehingga al-quran akan mudah dihafal.
Dasar kedua dalam Computational Thinking adalah abstraction, yaitu proses berfikir dalam menyederhankan masalah tanpa menghilangkan esensinya. Terkadang banyak masalah besar yang disederhanakan oleh seseorang, namun hilang inti dari masalah besar tersebut, sehingga terkadang banyak membuang tenaga, pikiran, dan waktu dalam proses penyederhanaan tersebut. Dalam praktiknya, pola abstraction bagi kalangan santri bisa dilakukan salah satu contohnya ketika dihadapkan dengan tugas memahami isi teks kitab yang tebal dan berjilid yang sedang dipelajari melalui metode meringkasatau merangkum initisari dari bahasan kitab yang dipelajari.
Adapaun dasar ketiga dalam keterampilan Computational Thinking adalah algorithmic design, yaitu proses menyusun langkah-langkah solusi secara sistematis. Santri yang memahami pola kerja algorithmicakan terlatih secara mandiri dalam membuat langkah-langkah secara sistematis dalam membuat berbagai macam jenis produk atau tugas yang dibebankan kepada mereka selama menjalani proses pembejalaran di pesantren. Dasar terakhir dalam keterampilan Computational Thinking adalah pattern recognition, yaitu proses mengenali pola dalam data atau solusi yang sudah ada. Santri yang dibekali dasar berfikir pattern recognition akan selalu bersikap hati-hati dalam bertindak dan bersikap, serta tidak akan terjatuh pada kesalahan yang sama dikemudian hari.
Membekali santri dengan keterampilan Computational Thinking merupakan langkah strategis bagi para insan pesantren dalam menyiapkan santri yang adaptif dan inovatif terhadap tuntutan zaman yang serba cepat dan mudah. Era digital yang sedang dihadapi oleh para santri saat ini merupakan sebuah keniscayaan dan tantangan yang harus dihadapi oleh para santri, sehingga dalam hal ini pesantren harus berani berbenah dalam aspek penyediaan akses bagi santri untuk lebih dekat dan familar dengan perangkat computer dan sejenisnya, supaya mereka memahami cara kerja dan logika computer. Oleh karena itu, era digital yang berbasis komputerisasi harus diimbangi dengan pola berfikir santri yang sama dengan komputer, sehingga kedepannya santri tidak akan tertinggal dalam banyak hal dan akan selalu update dengan semua arus informasi dan perkembangan yang sedang dan akan terjadi.
Dalam konteks ini juga, penguatan Computational Thinking bagi santri menjadi sebuah kebutuhan strategis. Santri harus dipersiapkan untuk menjadi generasi yang mampu memahami dan menghadapi perubahan zaman tanpa harus kehilangan identitas dan nilai-nilai keislamannya. Melalui integrasi keterampilan CT dengan sistem pendidikan pesantren diharapkan akan lahir generasi santri yang adaptif, inovatif, serta mampu berperan aktif dalam pembangunan masyarakat di era digital. Dengan demikian, penguatan Computational Thinking diharapkan tidak hanya meningkatkan kompetensi santri dalam bidang teknologi, tetapi juga memperluas kontribusi pesantren dalam mencetak sumber daya manusia yang siap menghadapi tantangan revolusi industri dan transformasi digital. ***