Kajian

Penguatan Aswaja An-Nahdliyah untuk Kesatuan NKRI dan Pemberdayaan Ekonomi Pesantren

Dalam tradisi umat Islam Indonesia, khususnya Nahdliyin sebagai penganut Aswaja biasanya didefinisikan sebagai orang yang mengikuti salah satu madzhab dari empat (Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) dalam bidang Fiqh, serta mengikuti Imam al-Asy’ari dan Imam Maturidi dalam bidang akidah dan mengikuti al-Junaidi dan al-Ghazali dalam bidang tasawwuf.

Tulisan ini memuat beberapa pengetahuan ringkas yang dipahami oleh penulis, definisi diatas juga merupakan pertama kali dirumuskan oleh Hadratus Syaikh KH. Hasyim Asy’ari sebagaimana tertuang dalam Qonun Asasi Nahdlatul Ulama.

Tajdidunniyah fi nahdlah merupakan upaya sebagai iktikad dalam memperbaharui niat berNahdlatul Ulama dan Langkah-Langkah Ber NU menggunakan Akidah syariah dan akhlak manhaj jihad dengan membawa syariat Nabi Muhammad Shallalahu Alaihi Wassalam dalam berkehidupan sehari-hari dan ber Nahdlatul Ulama.

Jika meninjau dari statement yang disampaikan oleh KH. Yahya Cholil Staquf, Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) tanggung jawab dan tantangan NU di masa depan yang semakin luas dan beragam menuntut inklusivikasi khidmah dan kebangkitan dalam tiga jalur pergulatan, yaitu kebangkitan intelektualisme, kebangkitan teknokrasi dan kebangkitan kewirausahaan.

Pernyataan diatas tentu semua telah menjadi tugas bagi sebagian besar para kader NU. Karena itu, selain tugas merawat keilmuan NU, juga harus ada inovasi dalam membangun NU berkemajuan melalui kemandirian ekonomi pesantren misalnya. Di satu sisi, pesantren menjadi tempat yang mulia dalam merefleksikan pengembangan keilmuan keagamaan. Namun, sisi lain ekonomi pesantren juga harus lebih diperkuat dan jangan sampai dibiarkan memprihatinkan. Sebab, pesantren adalah kunci utama dalam membangun peradaban pada masa sekarang.

Di Indonesia terdapat beberapa pesantren yang mencoba membuat satu ikhtiar menambah kemampuan santri di bidang wirausaha atau ekonomi.

Berangkat dari kesadaran bahwa semua santri tidak akan menjadi ulama, maka beberapa pesantren mencoba untuk terus membekali santri dengan berbagai ketrampilan di bidang pengembangan ekonomi. Artinya santri yang berhasil lulus dari pesantren tersebut akan dapat mempunyai pengalaman serta keahlian secara praktis tertentu yang nantinya dijadikan modal utama untuk bisa mencari pendapatan hidup se lepas lulus dari sebuah pesantren.

Kalau kita mencermati lebih jauh, perilaku ekonomi di lingkungan pesantren pada umumnya, kita akan menemukan berbagai kemungkinan model pengembangan usaha usaha yang sedang berjalan. Setidaknya ada empat macam kemungkinan pola-pola usaha ekonomi yang berkembang di lingkungan pesantren; Pertama, usaha ekonomi yang berpusat pada sosok kyai sebagai seseorang yang bertanggungjawab dalam mengembangkan pondok pesantren. Misalnya seorang kyai mempunyai perkebunan sayur mayur yang cukup luas. Untuk biaya dan pemeliharaan serta hasil pemanenan, kyai banyak melibatkan proses dari bercocok tanam sayur mayur tersebut bersama-sama dengan santri-santrinya.

Dengan demikian, Maka terjadilah hubungan yang saling menguntungkan (simbiosis mutualisme) dimana hasil yang didapatkan kyai sebagai pemilik lahan dapat memproduksikan perkebunannya, santri mempunyai pendapat tambahan dan dengan keuntungan yang dihasilkan dari perkebunan sayur mayur tersebut maka kyai dapat menghidupi kebutuhan pengembangan pesantrennya.

Kesimpulan yang bisa dapat kita ketahui bersama bahwa pesantren sebagai lembaga keagamaan yang hidup di tengah-tengah masyarakat baik di lingkungan pedesaan ataupun perkotaan mempunyai peran yang sangat penting, khususnya terkait dengan persoalan keagamaan (moral force) maupun yang terkait dengan sosial kemasyarakatan.

Maka untuk melakukan hal tersebut ada beberapa hal yang dapat dilakukan oleh pesantren sebagai pemberdayaan ekonomi aswaja mempersiapkan para santri dengan memberikan bekal keahlian-keahlian tertentu, seperti pertanian, cara berdagang, membengkel dan lain sebagainya sehingga ketika mereka keluar dari pesantren mempunyai bekal untuk bekerja.

Selain itu juga, Menanamkan jiwa wirausaha pada santri dengan memberikan wawasan

kepada mereka sejak dini bahwa bekerja merupakan perintah agama. Karena pada dasarnya mencari nafkah untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga merupakan bagian yang tak akan terpisah dari ajaran Agama Islam.

Point yang tidak kalah pentingnya yakni perlu adanya pemahaman dari kalangan pesantren bahwa persoalan sosial di masyarakat seperti kemiskinan, ketidakadilan, juga merupakan tanggungjawab pesantren sebagai bagian dari hablum min al anas dan dakwah bil hal sebagai upaya dalam penguatan Aswaja dalam kehidupan sehari-hari.

A’isy Hanif Firdaus, S.Ag.

(LTN NU Kabupaten Brebes Jateng)