Mendiskusikan ” Politik ” menjelang pemilu sangat menarik. Disebut menarik karena tema politik semakin dekat pemilu semakin banyak tema dan judul yang bisa didiskusikan dalam prespektif berbagai disiplin ilmu. Hal tersebut karena politik bukan hanya bersinggungan dengan satu disiplin ilmu akan tetapi bisa kita hubungkan dengan berbagai disiplin ilmu.
Sebagai orang beragama tetap akan mengaitkan politik dengan agama yang menjadi diskursus sejak dulu menjelang kemerdekaan RI sampai hari ini menjelang pemilu bahkan mungkin sampai kapanpun. Politik dan agama akan menjadi tema yang tidak pernah habis digali oleh akademisi, politisi, pengamat politik dan tokoh agama.
Warga Negara Indonesia dalam hidup bernegara tidak lepas dari politik, karena ada hak politik (memilih dan dipilih) dan partisipasi politik. Keduanya tentu akan sangat punya makna bila melalui proses edukasi yang baik sehingga berujung kepada kesantunan dalam politik (politik yang bermoral).
Politik yang bermoral mayoritas semua politisi sangat memahami. Adapun persoalan implementasi dalam pergerakan di lapangan tentu sangat variatif. Adapun politik menghalalkan segala macam cara kadang menjadi rumus untuk mencapai tujuan dengan membabi buta.
Inilah bermula dalam istilah bahwa politik adalah perebutan kekuasaan (bahasa halusnya ” bagi bagi kekuasaan). Sehingga sebagai manusia yang secara kodrati memiliki anasir ” nafsu” maka siapapun yang bergerak pada wilayah politik ingin menjadi penguasa.
Keinginan menjadi penguasa ini yang seringkali melepaskan etika politik dengan dalih ” kalau tidak begini maka tidak bisa menjadi penguasa atau menjadi pemenang dalam kontestasi”. Dalam hal ini akhirnya agama yang berbasis moral tidak menjadi spirit dalam pergerakan politik. Parameter “halal” yang menjadi dogma agama bergeser menjadi budaya “boleh” dalam tafsir politik untuk mencapai tujuan yang lepas dari kaidah agama.
Padahal agama hadir ditengah tengah manusia bukan sekedar urusan dunia dengan hukum taklifnya seorang hamba. Lebih dari itu taklif yang berhubungan dengan syariat sangat berhubungan dengan kehidupan akhirat kelak.
Maka nilai teologi dalam berpolitik mestinya menjadi sandaran tidak lantas ditinggalkan. Ketika paradigma teologi menjadi pijakan seorang dari politik tentu tidak akan mudah terjebak kepadaa sikap diameter antara agama dan politik.
Sikap diameter ini yang memunculkan pemahaman seakan bahwa agama hanya urusan akhirat ( sakral) sementara politik adalah urusan dunia (profan) yang sama sekali tidak terkait. Memisahkan agama dan politik sama halnya memisahkan etika dengan kehidupan. Dan kalau kehidupan sudah lepas baru etika tentu akan terjadi kerusakan bangsa.
Oleh karena itu politik dan agama merupakan simbiosis mutualisme. Politik tanpa moral agama akan menjadi rusak. Kehidupan beragama tanpa politik menjadikan ritual ibadah dan kegiatan agama tidak menemukan ketenangan dan ketenteraman (kondusif).
Dengan demikian kesantunan dalam berpolitik harus menjadi pijakan para politisi. Moral agama menjadi pegangan dalam ekspansi politik menuju sukses pemilu 2024. Kemenangan yang ditempuh dengan meninggalkan etika politik adalah kemenangan kamuflase yang akan berujung kurang baik di akhir.
Mewujudkan bangsa yang aman, tentram, adil, makmur dan sejahtera menjadi cita cita bersama semua elemen bangsa. Para politisi sebagai garda terdepan yang mengusung kebijakan negara sangat berperan dalam hal tersebut.
Semoga pemilu 2024 berlangsung dengan santun, damai dan terjaga dari konflik yang memecah belah bangsa. Komitmen menjadi NKRI harus menjadi kekuatan bersama untuk mewujudkan Indonesia kuat dan hebat. ***