Kita sering mendengar pepatah yang syarat makna “Padi itu, semakin berisi, semakin merunduk.” Sebuah filosofi hidup sudah barang tentu menjadi cermin bagi siapa saja yang mempunyai kapasitas dalam bidang agama dan mengkultuskan dirinya merasa telah berilmu atau “alim”. Sebab, dengan adanya ilmu sejatinya tidak membuat seseorang merasa besar kepala, apalagi meninggikan diri dengan semena mena merendahkan orang lain.
Namun realitanya masih banyak di sekitar kita berkata lain. Tidak jarang kita jumpai orang-orang yang merasa paling tahu tentang agama, paling fasih bicara soal kebaikan, paling benar dalam menilai, namun lalai menjaga lisan dan sikapnya hingga melukai hati orang lain. Ironisnya memang, luka semacam ini seringkali datang bukan dari orang yang tidak mengenal agama, tapi justru dari mereka yang mengaku paham dan dekat dengan-Nya.
Merasa paling alim bukanlah sebuah prestasi yang perlu dibanggakan. Justru, itu bisa menjadi jebakan halus yang mematikan kerendahan hati dirinya sendiri. Saat seseorang sudah mulai meyakini bahwa dirinya lebih suci atau lebih benar dari orang lain, maka saat itu pula ia sedang menjauh dari esensi ilmu yang sesungguhnya. Ilmu yang sejati adalah yang membentuk kepribadian akhlak yang baik, bukan tempramental arogansi; namung justru terus menumbuhkan empati, bukan menjatuhkan; memperkuat kasih, bukan membakar luka dalam diam.
Di tengah dunia yang terus berubah dan kompleks seperti sekarang ini, kita tidak butuh lebih banyak orang yang tinggi suaranya dari mimbar keimanan. Kita butuh lebih banyak jiwa-jiwa yang meneduhkan dengan keteladanan, yang berilmu sekaligus merunduk, seperti padi. Yang menguatkan, bukan memojokkan. Yang hadir memberi rasa aman, bukan merasa paling pantas menghakimi.
Bahkan kanjeng Nabi Muhammad SAW manusia paling berilmu dan paling dekat dengan Allah SWT pun menunjukkan ketawadhuan luar biasa. Beliau menyapa siapa pun dengan kasih sayang, bahkan terhadap mereka yang menyakitinya sekalipun. Maka jika kita merasa sudah mengenal agama, tapi lisan kita melukai, perilaku kita meninggikan diri, dan sikap kita menjauhkan orang lain dari rahmat Allah, bisa jadi kita sedang tertipu oleh keangkuhan yang samar.
Perlu kita sadari pula, bahwa sekelas kita yang tak seberapa ilmunya mana mungkin pantas merasa paling benar dan paling tahu? Menggunakan dalih “menegakkan kebenaran” untuk menyakiti sesama justru membelokkan arah dari nilai agama yang penuh rahmat.
Luka dari rasa superior ini bukan luka biasa. Ia bisa lebih dalam dari luka fisik, sebab menyentuh harga diri dan merusak martabat seseorang. Dan luka seperti ini, ketika datang dari sesama saudara seiman, rasanya jauh lebih menyakitkan.
Sebagai penutup, Maka penting untuk selalu ingat: sebesar apa pun ilmu yang kita miliki, jangan pernah menjauh dari akhlak mulia. Semakin dalam ilmu seseorang, seharusnya semakin luas kasih sayangnya, semakin dalam empatinya, dan semakin besar kemampuannya untuk membuat orang lain merasa dihargai dan aman. Jangan sampai kita sibuk mengutip ayat, tapi lupa merawat hati. Sibuk menasihati, tapi gagal memahami. Karena bisa jadi luka yang paling dalam bukan datang dari orang yang berbeda keyakinan, tapi dari saudara seiman yang merasa terlalu tinggi untuk menyapa dengan penuh kasih santun.
Wallahu A’lam Bish Showwab
Eksplorasi konten lain dari aswajanews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.