Dalam sejarah peradaban Islam, perbedaan dalam berpikir bukanlah sebuah hal baru. Bahkan, ia merupakan keniscayaan dari akal dan wahyu yang senantiasa berinteraksi dalam memahami realitas. Nahdlatul Ulama (NU), sebagai organisasi Islam yang lahir dari rahim tradisi pesantren dan kebijaksanaan para ulama pesantren tradisional, telah mewarisi cara pandang yang sangat arif dalam menyikapi perbedaan. NU tidak memandang perbedaan sebagai ancaman, melainkan sebagai wahana dinamika intelektual dan spiritual yang harus dijaga dalam bingkai adab dan kebersamaan.
NU tumbuh dalam lingkungan yang plural, baik secara mazhab fikih, pemahaman tasawuf, maupun pendekatan sosial-keagamaan. Hal ini tercermin dari komitmen NU terhadap manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah an-Nahdliyah yang mengedepankan jalan tengah (tawassuth), keseimbangan (tawazun), moderasi (i’tidal), dan toleransi (tasamuh). Maka, perbedaan pendapat bukanlah sesuatu yang harus dihindari, tetapi dijadikan ruang belajar untuk saling mengisi, melengkapi, bukan untuk saling menghakimi.
Namun demikian, di tengah suasana semakin cepatnya arus informasi dan terbukanya ruang publik digital, perbedaan dalam internal NU terkadang justru menjadi sumber konflik yang tidak produktif. Perbedaan antara generasi tua dan muda, antara pendekatan struktural dan kultural, bahkan antara kepentingan politik dan idealisme keilmuan, kadang mencuat tanpa kendali. Di sinilah pentingnya kembali kepada adab saling berjamaah. Perbedaan bukan untuk dipertajam dalam ruang publik yang kasar, melainkan diselesaikan melalui mekanisme musyawarah, tabayyun, dan pendekatan ilmiah sebagaimana diajarkan para kiai-kiai sepuh.
Cara menyikapi perbedaan dalam NU bukan hanya soal “apa yang dipikirkan”, tapi juga “bagaimana cara menyampaikannya”. Dalam tradisi NU, akhlak lebih utama dari sekadar benar secara logika. Kritik boleh saja, tapi harus dengan adab. Ketidaksepakatan boleh terjadi, tapi tidak boleh menjatuhkan marwah orang lain. Hal ini sejalan dengan semangat ukhuwah nahdliyah, yang mengutamakan persaudaraan di atas ego sektoral.
Lebih dari itu, NU seharusnya tidak hanya menjadi organisasi yang besar dalam kuantitas saja, tapi juga matang secara pemikiran dan etika. Perbedaan harus dijadikan bahan bakar untuk inovasi, bukan alasan untuk stagnasi atau konflik internal. Jangan sampai kemegahan nama NU tercoreng hanya karena warganya belum mampu mengelola perbedaan dengan dewasa. Sebab NU bukan hanya milik satu golongan atau satu generasi, melainkan rumah besar bagi semua yang berjuang menjunjung tinggi ilmu, akhlak, dan cinta tanah air.
Sebagai warga NU, tentunya kita harus belajar dari para Muassis (pendiri) yang sangat bijak dalam menyikapi perbedaan. Hadratussyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, KH. Abdul Wahab Hasbullah, dan KH. Bisri Syansuri adalah contoh ulama yang keras dalam prinsip, tapi lembut dalam interaksi. Beliau juga tidak membangun NU dengan hujatan, tetapi dengan ilmu, cinta, dan keikhlasan. Maka tugas kita hari ini bukan sekadar melanjutkan nama NU, tapi juga merawat ruh dan akhlaknya.
Terakhir, Perbedaan adalah bagian dari rahmat Allah SWT yang diberikan kepada manusia. Dalam NU, perbedaan berpikir seharusnya menjadi kekuatan, bukan kelemahan. Selama dikelola dengan adab, akhlak, dan semangat kebersamaan, perbedaan justru menjadi sumber kekayaan pemikiran dan kedewasaan organisasi. Mari kita jaga NU sebagai rumah besar yang sejuk bagi semua, bukan medan konflik bagi yang merasa paling benar sendiri.
Wallahu A’lam Bish Showwab