Perubahan zaman yang begitu cepat telah membawa umat Islam pada tantangan spiritual yang kian mendalam. Meski perkembangan teknologi melesat dan kesadaran keagamaan tumbuh dalam simbol-simbol visual kerap menyembunyikan gejolak batiniah yang hakiki, yang mana dalam bahasa arab disebut ‘ubūdiyyah. Kata ini bukan sekadar dimensi spiritual, tetapi merupakan landasan utama dari tauhid serta keseluruhan tatanan kehidupan beragama. Istilah ‘ubūdiyyah berasal dari akar kata ʿabd (عبد), yang berarti “hamba”, “budak”, atau “seseorang yang tunduk
sepenuhnya pada perintah tuannya”. Dalam penggunaan teologis, ‘ubūdiyyah merujuk pada penghambaan total kepada Allah bukan sekadar pengakuan formal, tapi juga ketundukan eksistensial yang menyeluruh dalam hati, lisan, dan tindakan. Dalam Al-Qur’an ‘ubūdiyyah ditegaskan sebagai tujuan penciptaan manusia seperti yang dijelaskan pada Qs. Al-Dzariyat: 56:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْاِنْسَ اِلَّا لِيَعْبُدُوْنِ
“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”.
Kata ibadah di sini berasal dari akar kata yang sama dengan ‘ubūdiyyah, dan para mufassir sepakat bahwa maknanya melampaui sekadar ibadah ritual. Ia mencakup ta’zhim (pengagungan), sikap merendahkan diri secara total (tadhallul) serta kepatuhan lahir dan batin (inqiyad) terhadap segala titah Ilahi. Imam Ibn Taymiyyah menjelaskan bahwa ibadah adalah nama yang mencakup segala hal yang mendapatkan cinta dan keridaan Allah, baik berupa kata-kata maupun tindakan, yang tampak ataupun tersembunyi. Imam al-Ghazali dalam karya monumentalnya Ihya’ Ulum al- Din menegaskan bahwa inti dari penghambaan (‘ubūdiyyah) bukan hanya ketaatan formal, melainkan penyerahan diri secara total kepada Allah, termasuk dalam hal cinta, takut, dan harapan.
Dengan demikian, ‘ubūdiyyah merupakan inti dari tauhid, karena ia meniscayakan pengesaan dalam niat, dalam sumber hukum, dan dalam orientasi hidup. Tanpa ‘ubūdiyyah, pengakuan tauhid Substansi religius mengalami kekosongan makna, sehingga praktik ritual keagamaan tereduksi menjadi aktivitas mekanistik yang bersifat formalistik semata. Dalam kondisi demikian, agama kehilangan dimensi transformasionalnya sebagai kekuatan moral dan spiritual dalam kehidupan individu maupun sosial. transformasionalnya.
Ubudiyyah dalam Praktik Kehidupan Modern
Meskipun konsep ini terkesan klasik dan spiritual, ‘ubūdiyyah sangat relevan di era digital, dunia kerja, pendidikan, dan media sosial. Justru dalam dunia modern yang didominasi oleh self centeredness, pemusatan orientasi hidup pada penghambaan murni kepada Allah berfungsi sebagai instrumen kritis dalam menjaga keaslian iman dan integritas moral. Meskipun era digital menawarkan ruang-ruang ekspresi diri yang luas dan tak terbatas, namun tanpa landasan spiritual yang kokoh, kebebasan tersebut berisiko menjerumuskan pada disorientasi nilai dan krisis identitas religi juga menciptakan jebakan narsisisme, pencitraan, dan adiksi validasi sosial. Dalam konteks ini, ‘ubūdiyyah mengajarkan bahwa setiap tindakan di ruang digital bukan hanya konsumsi sosial, tetapi juga bagian dari amal yang dipantau oleh Allah. Sebagaimana Imam al-Junaid al-Baghdadi mengatakan, “Al-‘ubūdiyyah hiya hifzh al-asrār wa syuhūd al-‘ibādah” (Hakikat penghambaan yang sejati terletak pada penjagaan kesucian batin serta kesadaran ruhani yang senantiasa hadir dalam menyaksikan kehadiran Allah dalam setiap bentuk ibadah). Yang mana dalam artian, bahkan dalam dunia digital yang seolah anonim kesadaran sebagai hamba harus tetap hidup menghindari ghibah digital, hoaks, dan konten sia-sia yang tidak memberikan kemaslahatan bagi pribadi maupun masyarakat.
‘Ubūdiyyah membentuk kesadaran bahwa bekerja adalah ibadah, dan setiap amanah profesional adalah bagian dari taklif syar’i. Seperti dalam sabda nabi, sesungguhnya Allah menaruh cinta kepada pribadi yang menjadikan pekerjaannya sebagai ladang pengabdian, lalu menunaikannya dengan kesempurnaan sebagai cerminan kejujuran dan ihsan dalam amal. Dalam pendidikan dalam Islam tidak sekadar transfer ilmu, tetapi tazkiyah al-nafs yakni proses pensucian jiwa. Dalam dunia akademik yang kini rawan menjadi arena sekularisasi, ubudiyyah menghadirkan dimensi spiritualitas yang menumbuhkan kejujuran ilmiah, adab, dan orientasi pengabdian kepada masyarakat. Sebagaimana yang telah dicontohkan oleh para ulama salaf, seperti halnya Imam Malik mengungkapkan, “Pelajarilah adab sebelum belajar ilmu.”
’Ubūdiyyah dalam pendidikan membentuk insan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga tunduk kepada Allah dan bertanggung jawab kepada umat.
Media sosial dan ‘ubūdiyyah menimbulkan disiplin ruhani dalam ekspresi diri. Media sosial menyediakan lanskap luas bagi ekspresi diri, namun di sisi lain juga menjadi arena pertarungan antara dorongan ego dan kecanduan akan validasi sosial. Dalam konteks ini, nilai ‘ubūdiyyah berperan sebagai penyaring niat, mengarahkan generasi Z agar setiap unggahan tidak semata demi apresiasi publik, melainkan mengandung tujuan maslahat. Bahkan aktivitas sederhana seperti kebiasaan (scrolling) dan posting di media sosial dapat bernilai ibadah apabila dilandasi dengan niat yang benar untuk ilmu, dakwah, dan silaturahmi. Ibn Qayyim al-Jawziyyah mengingatkan:“Setiap waktu yang berlalu tanpa dimanfaatkan untuk ketaatan merupakan kerugian yang hakiki”. Oleh karena itu, nilai ‘ubūdiyyah menanamkan kedisiplinan spiritual yang membimbing seseorang untuk senantiasa hidup dalam kesadaran ilahiyyah dan keterikatan kepada amal saleh
Pandangan ulama Ahlussunnah Imam al-Ghazali tentang ‘ubūdiyyah dalam karyanya sebagai ulama tasawuf NU
Istilah ibadah dan ubudiyah kerap dianggap memiliki makna yang sama oleh sebagian orang, namun menurut mayoritas ulama seperti Imam al-Ghazali, para ulama Ahlussunnah, dan kalangan sufi, keduanya memiliki perbedaan makna yang mendasar. Makna ‘ubūdiyyah menurut Imam al-Ghazali merupakan prinsip yang sangat urgent sebagaimana berkaitan erat hubungan emosional antara manusia dengan Tuhannya. Dalam berbagai karya beliau, khususnya dalam Ihya’‘Ulum al-Din, Imam al-Ghazali memaknai ‘ubūdiyyah (penghambaan) bukan hanya sebagai bentuk ibadah lahiriah, tetapi sebagai penyerahan totalitas diri secara lahir dan batin kepada Allah SWT.
Imam al-Ghazali menggarisbawahi bahwa ‘ubūdiyyah adalah penuh kesadaran dan validasi bahwa manusia adalah sosok yang tidak memiliki harta benda dan sebagainya kecuali karena Allah. Segala sesuatu kehidupan, kekuatan, ilmu, bahkan kehendak semuanya berasal dari Allah. Maka manusia tidak memiliki daya dan upaya tanpa izin-Nya. Dalam ‘ubūdiyyah, al Ghazali sangat menekankan bahwa hati seorang hamba tidak boleh bergantung pada makhluk atau dunia, melainkan hanya kepada Allah. Ia berkata:
“Seorang hamba yang sungguh-sungguh dalam penghambaan tidak akan berharap dari makhluk, dan tidak akan takut kecuali kepada Tuhannya.”
Tujuan tertinggi ‘ubūdiyyah menurut imam Ghazali adalah mencapai ma’rifatullah (pengenalan kepada Allah) dan mahabbatullah (cinta kepada Allah). Ibadah yang dilakukan dengan penuh ‘ubūdiyyah akan mengantarkan hati menuju kecintaan yang dalam kepada Allah, bukan sekadar rutinitastapi bentuk ketundukan hati dan jiwa secara total kepada Allah, disertai dengan pemahaman, cinta, dan kesadaran bahwa hanya Allah yang layak disembah dan dijadikan tujuan hidup. Era globalisasi kini semakin banyak tantangan moral dan ideologi yang dapat menjauhkan manusia dari nilai-nilai ketuhanan.`Ubūdiyyah di sini berarti mempertahankan ketaatan, keimanan, dan nilai-nilai Islam dalam kehidupan yang semakin sekuler dan liberal. ‘Ubūdiyyah tidak terbatas pada hubungan vertikal antara manusia dan Tuhan semata, tetapi juga mencakup hubungan horizontal antar sesama manusia. Tindakan seperti menolong orang lain, menegakkan keadilan, dan menjaga kelestarian lingkungan merupakan wujud nyata dari tanggung jawab dalam ‘ubūdiyyah. ***
Eksplorasi konten lain dari aswajanews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.