Kita Tahu bersama Indonesia terbentuk sebagai bangsa bernama “Indonesia” baru sejak 1945. Sebelumnya kita adalah bagian-bagian terpisah berbentuk kerajaan. Artinya kalo definisi negara yang dijajah adalah negara yang sudah terbentuk, maka kita tidak pernah terjajah. Karena Negara Kesatuan kita baru lahir 1945. Lalu sebelumnya apa?
Sebuah pertanyaan yang mendasar, sebelum kemerdakaan kita adalah bumi nusantara sebuah istilah saja untuk memudahkan penyebutan adalah kerajaan-kerajaan. Dari kerajaan Hindu-Budha dan kerajaan Islam. Yang sejatinya kerajaan Islam yakni Demak dan Pajang adalah kelanjutan dari Mojopahit, karena raden patah adalah anak dari Brawijaya V.
Penulis sengaja tak menjelaskan perjalanan historis dari Brawijaya 5 hingga Mataram Islam. Karena akan sangat panjang. Sejatinya kita yang umat Islam perlu berterimakasih kepada Walisongo, Sunan Ampel. Barokahnya asmara Brawijaya 5 dengan Putri Campa lahir Raden Patah yang ngaji di Ampel Denta lalu jadi raja Islam pertama, yakni kerajaam Demak.
Kita tahu bersama bahwa Raden Fatah adalah raja Kerajaan Demak, Hadiwijoyo adalah raja kerajaan Pajang. Bicara zaman kemerdekaan kita mengenal KH. Hasyim Asyari, beliau adalah keturunan Hadiwijoyo (Joko Tingkir), dan banyak ulama Nahdlatul Ulama yang memang keturunan dari Walisongo. Mungkin keturunan Walisongo, keturunan Raja Joko Tingkir itu ada dan dekat dengan teman-teman banyak mereka menjadi Ulama Besar, diikuti oleh masyarakat dan santri dan mengajarkan ilmu agama islam, mendirikam pesantren-pesantren.
Penulis juga tidak menjelaskan secara lengkap terkait siapa saja ulama yang keturunan Hadiwijaya (Joko Tingkir) Raja Pajang Pertama. Setelah era Kerajaan Demak.
Lanjut era setelah pajang kita mengenal Mataram Islam. Yang selanjutnya lestari hingga sekarang yakni Kesunanan Jogja dan Mangkunegoro. Kalo diruntut dari geneologi kita tahu bersama bahwa Presiden kita ada trah mataram yakni Sultan Agung.
Era demokrasi adalah era dimana tidak ada perbedaan keturunan raja dan rakyat biasa. Hanya saja saya membaca secara psikologis memang tidak bisa hilang dimana “rakyat” Indonesia patuh dan tunduk sama raja. Kita lihat dengan seksama keturun Ulama Hadiwijaya yang sekarang menjadi Kyai-Kyai di berbagai daerah kita sebut misal KH. Hasyim Asyari wa dzurriyahnya mereka adalah orang yang dihormati dan santri ikut apa yang menjadi dawuh kyai kyainya. Ulama-ulama yang nasab tersambung dengan Walisongo adalah lingkaran orang yang menyebarkan Islam dan sejatinya mereka memperkarsasi terbentuknya kerajaan Demak, hingga Pajang, Mataram Islam, hingga lahir NKRI.
Tapi kalo memang pemimpinan sekaliber menjadi presiden misalnya sah dan bisa menjadi presiden, tapi secara psikis kadang rakyat rada kurang nurut. Karena memang kita sudah lama sekali bangsa ini menjadi kerajaan, sehingga namanya rakyat kadang nurutnya sama raja.
Tapi bicara era sekarang adalah era bangsa negara kesatunan bernama “Indonesia” yang rapih dengan berbagai undang-undang, aturan, sistem pemerintahan. Ada partai politik, yang nantinya melahirkan tokoh politik yang akan menjadi DPR pembuat aturan, Presiden dan wakil presiden, Gubernur dan wakil gubernu, Bupati dan walikota. Semuanya melalui rekomendasi partai politik. Yang menggambarkan sila ke-4 “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan Perwakilan”.
Melalui sistem ini siapa saja “rakyat” bisa menjadi pemimpin bahkan jadi presiden. Meminjam istilah Bambang Pacul melalui jalan Korea kamu akan melenting. Tidak peduli kamu bersalah dari mana, kalo kamu mampus, berkapasitas, berproses sehingga dipilih oleh partai untuk mencalonkan baik bupati/walikota, gubernur, maupum presiden dan terpilih maka kamulah pemimpin bangsa Indonesia. Wallahualam bishowab. ***