BANDUNG (Aswajanews.id) – Konflik agraria di kawasan Pasirkoja (Sukahaji), Kota Bandung, kembali memanas dan memasuki fase yang dinilai paling mencekam. Sengketa lahan yang telah berlangsung puluhan tahun itu kini tidak hanya berkutat pada tarik-menarik bukti kepemilikan, tetapi mulai disertai dugaan kekerasan, intimidasi, hingga kriminalisasi terhadap warga.
Ketua Umum Badan Pemantau Kebijakan Publik (BPKP), A. Tarmizi, pada Rabu (3/12/25) memaparkan kajian hukum komprehensif yang menegaskan adanya benturan tajam antara kepastian hukum formal berbasis Sertifikat Hak Milik (SHM) dan keadilan sosial bagi warga yang sudah lama menempati serta mengelola lahan tersebut.
“Kasus di Sukahaji ini potret klasik konflik agraria struktural. Secara formal masyarakat berada dalam posisi yang sangat lemah,” tegas Tarmizi.
Temuan BPKP: Warga Berada dalam Posisi Paling Rentan
1. SHM sebagai Bukti Kepemilikan Terkuat
BPKP menyebut SHM milik pihak pengklaim—seperti PT Sakura, JJS, dan JK—merupakan bukti kepemilikan paling kuat menurut UUPA karena tercatat resmi di BPN. Secara hukum perdata, posisi ini sulit digugat.
2. Alas Hak Warga Dinilai Lemah
Sebaliknya, warga Sukahaji selama ini hanya memiliki surat garapan, bukti penguasaan fisik, atau warisan turun-temurun tanpa legalitas formal. Dengan kondisi demikian, peluang memenangkan gugatan kepemilikan di pengadilan disebut hampir mustahil.
3. Gugatan PMH Jadi Benteng Terakhir
BPKP menilai Gugatan Nomor 119/Pdt.G/2025/PN.Bdg yang diajukan warga terkait pemagaran sepihak merupakan upaya hukum terakhir untuk melawan dugaan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Tarmizi menegaskan, tidak boleh ada pemagaran, pengosongan, atau tindakan represif sebelum ada putusan inkracht.

Konflik Agraria Bergeser Menjadi Konflik Pidana
BPKP menyoroti eskalasi terbaru yang dianggap sangat mengkhawatirkan. Laporan intimidasi, pengerahan ormas, teror fisik, hingga penetapan warga sebagai tersangka disebut sebagai indikasi kriminalisasi konflik agraria.
“Ini bentuk tekanan yang menjadikan penegakan hukum tidak lagi netral. Warga yang mempertahankan ruang hidupnya justru diperlakukan sebagai pelaku pidana,” ujar Tarmizi.
BPKP juga meminta kepolisian mengusut dugaan kekerasan dan pembakaran berulang yang dinilai melanggar hak asasi manusia, terutama hak atas rasa aman dan tempat tinggal.
Desakan kepada BPN dan Pemerintah: Hentikan Kekacauan
Untuk mencegah konflik semakin berdarah, BPKP mengajukan sejumlah rekomendasi:
1. BPN Diminta Lakukan Verifikasi Total SHM
BPN perlu membuka seluruh dokumen terkait SHM, memeriksa keabsahan, batas-batas lahan, hingga kemungkinan cacat prosedur penerbitan. Jika ditemukan pelanggaran administratif, warga dapat mengajukan gugatan TUN.
2. Pemerintah dan Aparat Harus Netral
Pemkot Bandung dan aparat keamanan diminta bersikap netral, tidak berpihak pada pemodal, serta menghentikan segala bentuk intimidasi terhadap warga di lapangan.
Alarm Darurat Penegakan Hukum
BPKP menilai kasus Sukahaji kini menjadi alarm darurat bagi negara terkait keberpihakan hukum. Negara diuji: apakah hukum hanya berpihak kepada pemilik modal dengan dokumen formal, atau mampu menghadirkan keadilan substantif bagi warga yang selama puluhan tahun hidup dan menggantungkan penghidupan pada tanah tersebut.
“Ini bukan sekadar sengketa tanah. Ini pertarungan antara hukum yang kaku melawan keadilan yang seharusnya dirasakan rakyat,” tutup Tarmizi.
(Bambang K)
Eksplorasi konten lain dari aswajanews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
































