Suatu ketika Imam Syafi’i pernah tiba-tiba mencium tangan dan memeluk hangat seorang laki-laki tua yang kebetulan bertemu muka dengannya. Tindakan ini jelas mengundang tanya para sahabat dan murid-murid Imam Syafi’i.
“Wahai Imam, mengapa engkau mau mencium tangan dan memeluk lelaki tua yang tak dikenal itu? Bukankah masih banyak ulama yang lebih pantas diperlakukan seperti itu dari pada dia?” tanya salah seorang sahabatnya.
Dengan lugas, Imam Syafi’i menjawab: “Ia adalah salah seorang guruku. Ia kumuliakan karena pernah suatu hari aku bertanya kepadanya, bagaimana mengetahui seekor anjing telah dewasa. Ia pun menjawab, untuk mengetahuinya dengan melihat apakah anjing itu mengangkat sebelah kakinya ketika hendak kencing. Jika iya, ketahuilah bahwa anjing itu telah berusia dewasa.”
Begitu luar biasanya Imam Syafi’i memperlakukan dan memuliakan gurunya. Meski pembelajaran yang ia dapatkan terkesan remeh, tidak membuat mufti besar itu melupakan apalagi meremehkan jasa dari orang tersebut. Ia tetap memperlakukannya dengan mulia, sama seperti ia memperlakukan guru-gurunya yang lain.
“Pelajarilah oleh kalian ilmu, pelajarilah oleh kalian ilmu (yang dapat menumbuhkan) ketenangan, kehormatan, dan rendahkanlah dirimu terhadap orang yang kalian menuntut ilmu darinya.” (HR. Thabrani dari Abu Hurairah RA).
Tak kalah luar biasanya lagi, adalah Khalifah Ali Bin Abi Thalib dalam hal memuliakan guru. Beliau pernah berkata: “Aku adalah hamba dari siapa pun yang mengajariku walaupun hanya satu haruf. Aku pasrah padanya. Entah aku mau dijual, dimerdekakan atau tetap sebagai seorang hamba.”
Perkataan beliau ini menunjukkan bentuk memuliakan dan pengabdian yang tinggi pada siapa pun saja yang pernah mengajarinya walaupun hanya satu huruf. Bahkan, beliau mengibaratkan hubungan guru dengan murid seperti tuan dengan budaknya. Sebagaimana budak, senantiasa siap menjalankan titah tuannya.
Begitulah sejatinya memuliakan gurunya. Memuliakan guru adalah kewajiban setiap murid. Memuliakan guru tak kenal batas ruang dan waktu. Baik di sekolah, di jalan, di rumah, di taman, atau di mana saja.
Memuliakan guru juga tidak hanya mengacu pada posisi saat ia masih aktif menjadi guru. Namun, meski guru sudah berhenti atau pindah tugas dari tempat kita belajar, beliau tetap harus dimuliakan. Memuliakan guru sejak kita berguru padanya sampai ajal menjemput kita.
Memuliakan guru bukan formalitas belaka, harus tumbuh dari dalam sanubari. Jangan sampai lahir kelihatan hormat, tetapi batinnya melaknat. Penghormatan dan memuliakan guru itu harus berangkat dari hati yang bersih agar berbuah kasih dari Allah SWT.
Teladanilah Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Imam Syafi’i dalam hal memuliakan guru. Pantaslah jika dikemudian hari, sejarah Islam mencatat nama beliau berdua dengan tinta emas, yang hingga kini tetap diingat dan dihormati setiap Muslim. Bahkan, Nabi SAW dalam satu kesempatan pernah bersabda: “Saya adalah kota ilmu dan Ali sebagai pintunya.” Hadis ini menunjukkan betapa tingginya ilmu Sayyidina Ali sehingga Rasulullah menjulukinya sebagai Babul Ilmi (pintu ilmu pengetahuan). Wallahu a’lam.