Alumni Lirboyo di Brebes berduka. Salah satu tokoh sepuh dan Penasehat Himpunan Alumni Santri Lirboyo (HIMASAL) Kabupaten Brebes, KH Mulyani bin H. Basori, wafat pada Jumat malam (malam Sabtu) sekitar pukul 21.00 WIB.
Kabar duka ini dengan cepat menyebar melalui beberapa grup WhatsApp, termasuk grup HIMASAL dan MWC NU Wanasari. Saya sendiri menerima kabar duka tersebut saat sedang menghadiri kegiatan di Kudus. Seusai acara, saya mendapat telepon dari Gus Syaffa, anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah, yang menyampaikan berita wafatnya KH Mulyani. Saat membuka ponsel, saya dapati ucapan duka telah ramai beredar.
Terakhir saya bertemu KH Mulyani sekitar dua minggu yang lalu. Saat itu, beliau baru sekitar seminggu pulang dari rumah sakit. Begitu melihat saya, beliau langsung menangis, memeluk erat, dan menggenggam tangan saya kuat-kuat. Kami berpelukan dalam diam, hanya air mata yang berbicara. Saya teringat sosok beliau yang dulu kuat dan bersemangat, namun kini tampak lemah di atas kursi roda.
Sebagai santri, saya mengenal KH Mulyani sebagai alumni yang sangat peduli terhadap santri-santri yang masih menempuh pendidikan. Beliau kerap membantu kegiatan Halal Bihalal dan menggerakkan para alumni untuk mendukung kegiatan pondok. Sosok beliau sungguh menjadi inspirasi sekaligus teladan.
Tak hanya di lingkungan pesantren, KH Mulyani juga sangat peduli pada perjuangan Nahdlatul Ulama. Tanah yang kini digunakan sebagai kantor MWC NU Wanasari merupakan wakaf dari orang tua beliau. Untuk kepentingan NU, beliau selalu berada di garda depan. Beliau pernah menjabat sebagai Wakil Ketua Tanfidziyah, Wakil Rais Syuriyah, dan terakhir tercatat sebagai Mustasyar MWC NU Wanasari.
Di HIMASAL, beliau pernah menjadi Bendahara, kemudian didapuk menjadi Ketua PC HIMASAL Kabupaten Brebes. Saya sendiri berkesempatan mendampingi beliau sebagai sekretaris selama lima tahun masa kepemimpinan. Meski belum mengenal media sosial, beliau mampu menggerakkan HIMASAL untuk dikenal luas masyarakat, dengan mengadakan berbagai kegiatan kolaboratif dalam bidang dakwah.
Selama lima tahun itu, saya banyak belajar dari beliau. Bagi saya, KH Mulyani bukan hanya pembimbing, tapi juga sosok orang tua yang selalu memberi nasihat dan semangat untuk terus berkhidmat di NU dan HIMASAL. Bahkan beberapa hari sebelum saya menjenguk, menurut penuturan istrinya, beliau sempat menyebut nama saya dalam perbincangan bersama rekan-rekan alumni yang datang menjenguk.
Kini, dalam perjalanan pulang dari Kudus yang saya percepat agar dapat menyaksikan pemakaman beliau, saya menulis catatan ini sebagai bentuk cinta dan penghormatan. Semoga KH Mulyani mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah, diterima semua amal kebaikannya, dan diampuni segala dosa dan kesalahannya.
Tulisan ini hanyalah sepenggal kenangan dari perjalanan panjang bersama sosok orang tua yang penuh semangat dan cinta untuk NU dan HIMASAL. ***
Eksplorasi konten lain dari aswajanews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.