Opini

Kesombongan Intelektual Vs Ketawadlu’an Spiritual

Oleh : Akhmad Sururi

Suatu hari penulis ditelpon oleh seorang anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah dengan nama yang tidak asing, H. Musyaffa, Lc untuk wilayah dapil Brebes, Tegal dan Kota Tegal. Dirinya pernah nyantri di Pondok Pesantren Al Falah Ploso dan melanjutkan pendidikan ke Yaman. Sebelum di Ploso dia mondok di Pesantren Al Muayyad Solo. Sebagai anggota legislatif yang lahir dari lahir Pesantren, jiwa dan tradisi akhlak pesantren selalu melekat dan mewarnai dalam pemikiran serta sikap dalam kehidupan sehari-hari. Inilah mungkin yang sedikit membedakan antara politisi yang lahir dari komunitas Pesantren dengan mereka yang bukan dari Pesantren.

Beliau biasa dipanggil Gus Syaffa, sebuah panggilan bagi trah geneologis dari Kyai. Meskipun Beliau keturunan Kyai dan saat ini dirinya memangku Pesantren yang memiliki be beberapa lembaga pendidikan, namun sikap andap ashor (tawadhu) menjadi prilaku dalam kehidupan sehari-hari. Lebih dari itu dihadapkan publik jarang menunjukkan bahwa dirinya alim dalam kitab kuning karena dia adalah alumni Pesantren Salaf Ploso Kediri. Padahal setiap bulan pada malam.Rabu, Gus Syaffa membaca kitab kuning yang diikuti oleh jamaah ratusan alumni Pesantren.

Di luar Rabu dalam satu bulan, Gus Syaffa selalu mengikuti pengajian kitab kuning yang dibacakan oleh Kyai Sepuh di Kab Brebes, termasuk KH Akhmad Jarukhi, KH Jawahir dan KH Husni Faqih. Saat pengajian pasti ada disamping para Qori, karena ditengah kesibukan sebagai anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah, untuk setiap malam Rabu secara khusus hanya untuk ngaji di kediaman Beliau tepatnya di komplek Pondok Pesantren Al Fattah Tegalgandu Kec Wanasari Kab Brebes.

Sebagai alumni Pesantren Salaf setiap langkahnya tidak lepas dari sandaran doa kepada Sang Pencipta dengan washilah amalan ijazah wiridan. Termasuk saat saat menghadapi hal sangat penting, tidak lepas dari kekuatan doa wiridan tertentu yang secara bersanad tersambung dengan mujiz (Orang yang memberikan ijazah amalan wiridan). Keyakinan terhadap dengan kekuatan doa disandingkan dengan ikhtiar lahir dilakukan sebagai bersamaan. Sehingga nilai kepasrahan totalitas kepada Sang Pencipta melalui proses upaya lahir yang dilakukan dengan perhitungan nalar kemanusiaan secara umum.

Karena ketawadluan Beliaulah, saat menyaksikan orang yang sombong atau fakhr dalam bahasa tasawuf kurang begitu respek. Hal ini sangat logis karena sombong dan tawadlu adalah sikap diametral yang sampai kapanpun tidak pernah ketemu. Sombong adalah milik Alloh, sementara milik Alloh hakekatnya tidak bisa disandang oleh manusia sebagai hamba. Oleh karena itu Imam Ghozali dalam kitab Ihya Ulumuddin mengilustrasikan, orang yang sombong ibarat prajurit atau pelayan memakai mahkota raja. Maka sungguh tidak cocok, dan pada saatnya nanti orang yang sombong akan malu dengan sendirinya.

Penyakit sombong bisa bersarang pada orang yang berilmu. Hal ini terjadi saat ilmu tersebut dimanfaatkan untuk mencari kehormatan dirinya dengan menganggap orang lain bodoh atau dibawahnya. Sehingga seakan akan dengan ilmunya orang tersebut di atas segala-galanya. Dalam hal ini penulis menyebutnya dengan kesombongan Intelektual. Sebuah predikat yang disandang oleh mereka yang terlihat cerdas secara intelektual dan merasa dirinya paling hebat, tidak ada yang menandingi kecerdasan dirinya. Padahal kehebatan sesungguhnya hanya milik Alloh semata.

Kecerdasan intelektual tanpa diimbangi dengan kecerdasan spritual melahirkan fakhr yang menurut Gus Syaffa menjadi sikap yang tidak baik untuk dalam pergaulan. Orang Jawa menyebutnya. “lmu tinemu kanti laku”. Kalau terbatas dalam ruang teori, maka ilmu berhenti tidak berbuah. Sesungguhnya buah ilmu adalah akhlak atau etika. Kesombongan Intelektual merupakan bagian akhlak yang tercela. Disinilah Nabi Muhammad SAW meskipun memiliki sifat fatonah (cerdas) namun Alloh memujinya dengan ayat yang artinya “sesungguhnya engkau (Nabi Muhammad SAW) memilki akhlak yang agung”

Tentang Akhlak ini bagi Gus Syaffa menjadi penilaian tersendiri. Oleh karena setiap calon staf pengajar di lingkungan pendidikan Pondok Pesantren Al Fattah Tegalgandu yang pertama diperhatikan adalah akhlak atau etika. Sehingga setinggi apapun nilai ijazah dan secerdas apapun seseorang bagi Gus Syaffa masih kalah dengan orang yang memiliki akhlak yang tinggi, termasuk didalamnya sikap tawadlu (andap asor). Inilah yang menjadi ajaran dan tradisi Pesantren.

Sesungguhnya Pesantren sangat menekan nilai nilai adab atau akhlakul karimah. Kerendahan hati (tawadhu) dan kesederhanaan menjadi ciri khas pesantren. Tutur bahasa yang halus dengan tidak menampakkan kesombongan Intelektual menjadi ciri santri yang memahami tasawuf tidak sebatas teori. Sampai kapanpun kesombongan Intelektual tidak akan bertemu dengan ketawadluan spiritual. Semoga Alloh SWT senantiasa menjaga kita semua dari penyakitnya kesombongan dan ujub yang akan merusak jiwa kita. Amin. ***

Tinggalkan Balasan