Hukum

Kasus Pencabulan Anak, Advokat Akan Praperadilankan Penyidik

KAB. SEMARANG (aswajanews.id) – Mengawal pemberitaan pencabulan anak dibawah umur (Pagersari) yang mana pelakunya dibawah umur wilayah hukum Polres Semarang Polda Jateng. Prosesnya, menurut SP2HP yang dikirimkan oleh pihak kepolisian Polres Semarang tertanggal 17 November 2022. Kasus itu terdapat sebuah kejanggalan dan diduga ketetapan itu dilakukan sepihak tanpa sepengetahuan dan persetujuan pihak keluarga korban, Jumat (18/11/2022).

Didalam SP2HP yang dikirimkan dicantumkan poin poin diantaranya;

Rujukan :

  1. UU RI No 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Republik Indonesia
  2. UU RI No 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas UU No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak menjadi UU ;
  3. UU RI No 11 Tahun 2012 tentang sistem peradilan anak;
  4. Peraturan pemerintah No 65 Tahun 2015 tentang pedoman pelaksanaan Diversi dan penanganan anak yang belum berumur 12 (dua belas tahun) ;
  5. Laporan Polisi No : LP/B/112/VIII/2022/Jateng/Res SMG, tanggal 24 Agustus 2022
  6. Penetapan pengadilan negeri Ungaran No : 1/Pen.Pid/2022/PN Unr, tanggal 12 Oktober 2022.

Point-poin berikutnya adalah menyebutkan bahwa polisi unit PPA polres Semarang sudah melakukan penyelidikan terkait kasus tersebut diata sesuai dengan poin 1 huruf e, Penanganan Perkara tersebut dilaksanakan sesuai ketentuan pasal 21 UU RI No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak dan bab IV pasal 67 Peraturan Pemerintah Nomor 65 tahun 2015 tentang Pedoman Pelaksanaan Diversi dan Penanganan Anak Belum Berumur 12 (dua belas) Tahun, penyelidikan perkara selesai dilaksanakan dengan pengambilan keputusan yang dilaksanakan oleh penyidik Sat Reskrim Polres Semarang, Pembimbing Kemasyarakatan dari Bapas Kelas 1 Semarang, dan Pekerja Sosial dari Dinsos Kab. Semarang serta hasilnya telah mendapatkan Penetapan dari PN Ungaran (terlampir), serta berdasarkan penetapan keputusan dari pengadilan PN Ungaran, penyidik Sat Reskrim Polres Semarang bersama pembimbing Kemasyarakatan dari Bapas Kelas 1 Semarang dan Pekerja Sosial dari Dinsos Kab Semarang telah mengirimkan ABH (RP alias kumbang) pelaku pencabulan dibawah umur 12 tahun guna mengikuti pendidikan, pembinaan, rehabilitasi,dan pembimbingan ke LPKS Sentra Antasena Magelang.

Pada saat melalui sambungan telepon seluler WhatsApp (Jumat 18 November 2022) dengan pakar hukum yang juga masih tercatat sebagai Advokat, aktivis pemerhati anak dan perempuan, Adv. AR Enggang Simpaty SH, ”Apabila pada tanggal 11 Oktober 2022 pihak keluarga korban walkout dari pertemuan yang dilakukan di Mapolres Semarang, yang mana disebutkan sebagai penjelasan penanganan perkara bukan Diversi akan tetapi dianggap Diversi serta tidak menandatangani berkas apapun dan tidak adanya kesepakatan dari Diversi tersebut, maka ketetapan yang dikeluarkan oleh PN Ungaran dianggap batal demi hukum, apalagi ketetapan itu dilakukan tertanggal 12 Oktober 2022 pasca walkout nya keluarga korban”.

“Apabila sudah keluar ketetapan dari PN Ungaran, maka kenapa pihak penyidik Polres Semarang masih harus mengeluarkan SP2HP, apabila itu sudah ketetapan berarti sudah bukan lagi kewenangan penyidik,” tambah AR Enggang Simpaty.

Menurutnya, jika itu terjadi, maka berhak untuk mempraperadilankan penyidik dikarenakan tidak adanya ke profesional kerja sebagai penegak hokum. Proses Diversi itu harus sudah final dan mengikat, sementara SP2HP itu sendiri harus diberikan sebelum dilaksanakan penetapan, dan itu keliru.

“Diversi itu diluar konteks peradilan dan harus ada kesepakatan yang mengikat, jika pihak korban tidak menandatangani dokumen apapun, maka itu tidak bisa dilakukan penetapan, dan dilakukan lagi Diversi,” tegasnya.

Dikatakan, apabila proses Diversi merugikan pihak korban itu harus dikejar kembali, dikarenakan didalam Diversi tersebut tercantum klausul terkait Restitusi dan Kompensasi untuk korban.

Ditambahkan oleh AR Enggang Simpaty SH, Perma-nya sudah jelas yaitu Perma No 1 Tahun 2022, yaitu terkait adanya Restitusi dan Kompensasi.

“Untuk isi substansinya berarti proses diversi dianggap belum berhasil, selanjutnya untuk tekhnisnya maka PP no 65 /2015 ini lah yg menjadi payung hukumnya,” ungkapnya.

Diakhir statementnya, ia mengatakan, apabila pihak korban tidak pernah menandatangani dokumen atau berkas apapun dan juga didalam berita acara proses Diversi serta walkout maka bisa dipastikan diduga untuk tandatangan dari pihak korban itu dipalsukan.

Hingga diturunkannya pemberitaan ini, pihak keluarga korban tidak dan belum menerima surat ketetapan yang dijanjikan oleh pihak kepolisian Polres Semarang berbarengan dengan eksekusi pelaku pada saat diskusi di ruang loby Mapolres Semarang. (Team Liputan)