JAKARTA (Aswajanews.id) – Kasus hilangnya Rina, seorang ibu menyusui asal Sumedang, yang sebelumnya ditahan Polres Metro Jakarta Pusat dalam perkara dugaan wanprestasi Rp450 juta, memicu kemarahan publik dan sorotan tajam sejumlah tokoh nasional, aktivis hukum, hingga purnawirawan Polri.
Direktur LBH Digitek DKI Jakarta, Jurika Fratiwi, dan Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) Wilson Lalengke kompak mendesak Kapolri segera mengungkap keberadaan Rina serta menindak aparat yang terlibat.
Jurika mengungkap, sebelum menghilang pada 8 Agustus 2025, Rina sempat mengadu bahwa dirinya dipaksa mencabut surat kuasa dan menandatangani pernyataan tidak menggunakan pengacara. Setelah itu, seluruh komunikasi dengan Rina dan suaminya terputus.
“Penahanan Rina sejak awal cacat prosedur, melanggar Pasal 54, 55, dan 56 KUHAP, serta prinsip perlindungan anak dalam UU No. 35 Tahun 2014. Kasus ini murni perdata sesuai Pasal 1234 KUH Perdata, bukan pidana,” tegas Jurika.
Wilson Lalengke menilai hilangnya Rina sebagai “alarm bahaya” bagi penegakan hukum.
“Ini indikasi penghilangan paksa. Kalau dibiarkan, rakyat kecil tidak punya tempat berlindung. Slogan Polri untuk Rakyat hanya akan jadi pemanis bibir,” ujarnya.
Keduanya mendesak Kapolri, Propam, Komnas HAM, Komnas Perempuan, KPAI, Ombudsman RI, dan Kementerian PPPA untuk:
-
Mengungkap keberadaan dan memastikan keselamatan Rina.
-
Menghentikan proses pidana yang bertentangan dengan asas peradilan adil.
-
Menindak aparat yang memaksa pencabutan kuasa hukum.
-
Menegakkan hak anak dengan membebaskan atau menangguhkan penahanan ibu menyusui.
Kronologi Singkat
-
Maret 2025 – Rina menerima dana Rp450 juta dari pelapor untuk membeli mobil, namun dana dipakai menutup kebutuhan bisnis dan hutang. Ia beritikad membayar dengan mencicil dan menawarkan rumah sebagai ganti rugi, namun ditolak.
-
1 Agustus 2025 – Rina dipanggil ke Jakarta untuk “penyelesaian kekeluargaan”, namun langsung ditangkap di Polres Jakpus.
-
7 Agustus 2025 – Rina mengaku dipaksa mencabut kuasa hukum.
-
8 Agustus 2025 – Hilang kontak; lokasi penahanan tak jelas.
Sorotan Purnawirawan Polri
Kasus ini juga menarik perhatian mantan Wakapolri Komjen (Purn) Oegroseno, yang dalam pesan WhatsApp kepada aktivis Idris Hady menyebut perkara ini “murni kriminalisasi” dan harus diviralkan.
Kombes Pol Dedy Tabrani turut menyarankan agar kasus dilaporkan ke Propam dan Kompolnas.
Sumber internal menyebut, respons dari para petinggi Polri ini menjadi sinyal bahwa dugaan kriminalisasi Ibu Rina telah mendapat perhatian serius, bahkan di lingkup internal kepolisian.
Ujian Integritas Penegakan Hukum
Bukti yang dihimpun menunjukkan adanya penyalahgunaan kewenangan mulai dari kriminalisasi perkara perdata, pelanggaran prosedur penahanan, pelanggaran hak anak, hingga dugaan penghilangan paksa.
Kasus Rina kini menjadi ujian serius bagi integritas kepolisian dan sistem peradilan di Indonesia. (Red)
Eksplorasi konten lain dari aswajanews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.