Politik dan Pemerintahan

Gus Miftah: Suharso Monoarfa Hina Marwah Kyai dan Pondok Pesantren!

JAKARTA (Aswajanews.id) – Pidato Ketua Umum PPP, Suharso Monoarfadi acara pendidikan politik cerdas bebas korupsi di KPK terus mendapat kecaman dari berbagai pihak, kali ini Ulama nyentrik, Gus Mifah yang berang dengan pernyataan Suharso Monoarfa ketika acara ‘Pembekalan Antikorupsi Politik Cerdas Berintegritas (PCB) untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP)’ di Gedung ACLC KPK, Jakarta, pada 15 Agustus kemarin.

Lewat akun Instagramnya, Gus Miftah itu tidak terima dengan pernyataan menteri Kabinet Indonesia Maju tersebut. Gus Miftah menyayangkan pernyataan dan cerita tersebut dilontarkan oleh seorang ketua umum partai yang berlambang Ka’Bah. “Maksud anda apa ya pak ketua umum partai yang terhormat @suharsomonoarfa?” tulis Gus Miftah sambil memention Suharso Monoarfa.

Menurutnya, pernyataan Menteri Bappenas tersebut telah menghina kyai dan pesantren dengan kalimat yang menyakitkan. Tokoh Nahdatul Ulama itu pun akan menyomasi Suharso Monoarfa agar mengklarifikasi dan meminta maaf atas pernyataan tersebut. “Saya sebagai santri yang biasa sowan kyai untuk tabarukan dan ngalap berkah meminta anda untuk klarifikasi dan minta maaf,” tegasnya.

Menurut Ulama yang dikenal dengan pemikiran moderatnya ini, statemen Menteri Bappenas RI itu sangat menghina marwah kyai dan pondok pesantren. Sebab, dalam khazanahnya, pesantren memiliki istilah tabarukan, yaitu ngalap berkah yang dilakukan oleh seorang santri atau jamaah kepada kyai. Salah satu caranya adalah silaturahmi atau sowan kepada kyai.

“Dalam silaturahmi itu biasanya santri atau jamaah minta doa, minta nasehat atas problem dan hajatnya. Dan tidak ada permintaan khusus dari kyai, seperti minta amplop atau yang lainnya kepada para santri dan jamaah saat menerima sowan,” jelas Gus Miftah.

Adapun katanya Gus Miftah, kalau sowan harus kasih amplop atau apapun, kalau toh ada itu justru inisiatif dari santri atau jamaah yang sifatnya sukarela sebagai rasa mahabbah seorang santri kepada kyai dan amplop tersebut biasanya diberikan secara sukarela dan seikhlasnya.

Menurutnya justru kyai-kyai besar yang sebenarnya seringkali dimanfaatkan untuk kebutuhan panggung politik. Apabila para tokoh politik itu membutuhkan, maka mereka berbondong-bondong menghampiri kyai.

Gus Miftah pun mengibaratkan para politisi seperti daun salam dan laos dalam sebuah masakan.“Kalau butuh mereka sowan kyai, selesai butuhnya kembali meninggalkan kyai. Persis seperti daun salam dan laos, kalau masak sayur dicari pertama kali, sayurnya matang daun salam dan laosnya dibuang pertama kali,” tuturnya.

Sebelumnya pernyataan pidato Suharso Monoarfa saat memberikan sambutan dalam acara yang diselenggarakan oleh KPK mendapat kecaman oleh berbagai kalangan. Dalam video yang tersebar lewat WhatsApp Grup dan medsos itu, Suharso Monoarfa menceritakan soal pengalamannya sowan ke tokoh agama atau kyai.

“Ketika saya menjadi Plt. Ketum PPP, Ini demi Allah dan RasulNya terjadi. Saya datang ke kiai itu dengan beberapa kawan, lalu saya pergi begitu saja. Ya, saya minta didoain kemudian saya jalan. Tak lama kemudian saya dapat pesan di WhatsApp, Pak Plt, tadi ninggalin apa gak untuk kiai?” cerita Suharso. Suharso yang merasa tidak meninggalkan sesuatu di sana pun sempat menduga ada barang milik cucunya yang tertinggal di pesantren tersebut.

Namun, orang yang mengirim pesan ke dia menyebutkan bahwa bukan barang yang tertinggal. Suharso baru mengerti setelah mendapatkan penjelasan dari orang tersebut bahwa harus ada pemberian untuk kiai dan pesantren. “Kalau kami ketemu di sana, itu kalau salamannya gak ada amplopnya Pak, itu pulangnya itu, sesuatu yang hambar,” lanjutnya. (RD)