SEMARANG (Aswajanews.id) – Gabungan Media Online dan Cetak Ternama (GMOCT) mengecam keras penetapan tersangka terhadap Ridwanto, Ketua DPD GMOCT Provinsi Aceh sekaligus jurnalis senior, yang menjadi korban pembacokan brutal pada 18 Agustus 2025 di Kabupaten Nagan Raya.
Ironisnya, setelah mengalami luka serius akibat serangan yang dilakukan oleh Muslem Bin Syamaun, Ridwanto justru dilaporkan balik dan kini ditahan oleh aparat Polsek Darul Makmur.
Menurut keterangan resmi DPP GMOCT, peristiwa tersebut merupakan bentuk nyata kriminalisasi terhadap jurnalis yang sedang membela diri dari serangan melawan hukum.
“Ridwanto adalah jurnalis handal, kritis, dan berintegritas. Ia diserang, melindungi diri, namun justru dikriminalisasi oleh oknum aparat. Ini tidak masuk akal dan mencederai rasa keadilan,” tegas Sekretaris Umum GMOCT dalam pernyataannya.
Diduga Ada Kejanggalan di Proses Hukum
Tim investigasi GMOCT menemukan sejumlah kejanggalan dalam penanganan kasus ini.
Laporan dari pelaku pembacokan, Muslem Bin Syamaun, langsung diterima oleh Kanit Reskrim Polsek Darul Makmur Bripka Mirza, yang kemudian menetapkan Ridwanto sebagai tersangka dan menahannya.
Informasi yang diterima menyebutkan bahwa gelar perkara dilakukan di Mapolres Nagan Raya dan dihadiri sejumlah pejabat kepolisian setempat.
“Kami menilai gelar perkara tersebut cacat logika hukum. Korban yang jelas diserang malah dijadikan pelaku. Ini bentuk penyimpangan terhadap asas keadilan,” ujar perwakilan GMOCT.
Kejanggalan berlanjut ketika Kejaksaan Negeri Darul Makmur menerima berkas perkara dan bahkan diduga mengeluarkan surat perintah penahanan terhadap Ridwanto.
GMOCT menilai langkah tersebut terlalu terburu-buru dan tidak mempertimbangkan fakta hukum maupun asas noodweer sebagaimana diatur dalam Pasal 49 KUHP.
Landasan Hukum: Noodweer dan Noodweer Excess
Pasal 49 KUHP menegaskan, seseorang tidak dapat dipidana jika melakukan tindakan pembelaan diri atau membela orang lain dari serangan yang melawan hukum.
Bahkan, bila pembelaan tersebut melampaui batas (noodweer excess), pelaku tetap tidak dapat dipidana jika tindakan itu disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat akibat serangan.
Dalam konteks ini, tindakan Ridwanto tergolong pembelaan sah karena dilakukan spontan untuk menyelamatkan diri dari serangan bersenjata tajam.
GMOCT: Kriminalisasi Jurnalis Tak Boleh Dibiarkan
GMOCT menegaskan akan mengawal kasus ini hingga tuntas dan memberikan dukungan penuh kepada tim kuasa hukum Ridwanto untuk melakukan langkah hukum terhadap pihak-pihak yang diduga melakukan kriminalisasi.
“Kami menduga ada konspirasi jahat yang ingin membungkam suara kritis jurnalis. Ini ancaman nyata bagi kebebasan pers dan supremasi hukum di Indonesia,” tegas DPP GMOCT.
Organisasi tersebut juga menyerukan kepada seluruh jurnalis di Indonesia untuk tetap waspada dan berhati-hati dalam menghadapi ancaman fisik saat menjalankan tugas.
“Kasus Ridwanto menjadi pelajaran pahit. Sekalipun noodweer dijamin undang-undang, praktiknya bisa berbalik menyeret korban menjadi tersangka. Negara harus hadir menegakkan keadilan.”
GMOCT menyerukan agar Kapolda Aceh, Kejaksaan Tinggi Aceh, dan Komnas HAM segera turun tangan meninjau ulang proses hukum kasus ini.
Organisasi ini menegaskan bahwa keadilan bagi seorang jurnalis bukan hanya soal individu, tapi soal menjaga marwah kebebasan pers dan supremasi hukum di negeri ini. (Red)
Eksplorasi konten lain dari aswajanews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.






























