Kiai Idham atau KH Idham Chalid adalah ulama berpengaruh dan disebut sebagai mahaguru politik dari orang-orang Nahdlatul Ulama (NU). Pemikiran dan pengaruhnya terus mengalir hingga saat ini.
Begitu kuat pengaruhnya dalam dunia politik dan keulamaan di Indonesia membuat pemerintah Indonesia menobatkannya sebagai Pahlawan Nasional pada tahun 2011 lalu, berdasarkan SK Keppres Nomor 113/TK/Tahun 2011 tanggal 7 November 2011.
DR KH IDHAM Chalid. Salah seorang tokoh Nahdlatul ‘Ulama (NU) yang melegenda. Tokoh kelahiran Satui, Tanah Bumbu Kalsel 27 Agustus 1921 ini lama malang melintang dalam percaturan politik nasional. Sebagai Sekjen PBNU, pada Pemilu 1955 terpilih sebagai anggota DPR. Tahun 1956 Idham Chalid menjadi Wakil Perdana Menteri bersama Moh Roem dari Masyumi dibawah Perdana Menteri Ali Sastroamijoyo dari PNI. Kabinet Ali II itu suka disebut sebagai Kabinet Ali – Roem – Idham.
Pada Muktamar NU tahun 1956 di Medan, Idham Chalid terpilih sebagai Ketua Umum PBNU. Jabatan ini terus dipegangnya beberapa kali dan baru berakhir pada Muktamar Situbondo tahun 1984. Di panggung pemerintahan, berkali-kali menjadi Menteri baik di era Soekarno maupun di era Soeharto. Pernah juga menjadi Ketua MPR dan DPR. Jabatan terakhirnya Ketua Dewan Pertimbangan Agung (DPA).
Pada tahun 1978 pernah diminta oleh Presiden Suharto untuk menjadi Wakil Presiden. Entah mengapa dia menolak. Sebagai organisator dan politisi, Idham Chalid itu didikan KH A Wahid Hasyim sejak tahun 1944 semasa penjajahan Jepang. Sejak itulah dia menjadi Sekpri atau Aspri nya Wahid Hasyim. Sebagai politisi dia terkenal licin, jago diplomasi, langkah-langkah politik sukar ditebak. Orang-orang yang tidak menyukainya, menyebut Idham Chalid itu licik dan oportunis. Dikalangan politisi nasional tahun 1960an ada joke : Mana lebih licin, Idham Chalid atau Belut? Jawabannya, lebih licin Idham Chalid. Sebagai pejuang dan tokoh pergerakan politik nasional, Idham Chalid sudah dinyatakan sebagai Pahlawan Nasional. Dan poto atau gambar dirinya diabadikan di salah satu pecahan uang rupiah.
Idham Chalid dan Golf
Pada tahun 1967 Jenderal Suharto menjadi Pejabat Presiden dan tahun 1968 menjadi Presiden. Tahun-tahun itu para pejabat, pengusaha dan kalangan sosialita di Jakarta punya mainan baru, bermain golf. Di Rawamangun Jakarta memang sudah ada lapangan golf standar internasional dengan 18 hole. Olah raga golf tentu mahal. Yang tidak berduit mana bisa? Karena Presiden menyukai olah raga golf, maka para Menteri pun hampir semua belajar golf. Ada satu dua yang tidak, diantara nya Menko Kesra, Idham Chalid yang juga Ketua Umum PBNU.
Dalam beberapa kali bertemu, Presiden menganjurkan supaya Menko Kesra mulai berlatih golf. Disamping untuk kesehatan dan kebugaran juga logis karena Depdikbud yang juga ngurusi olah raga kan ada dibawah koordinasi Menko Kesra.
“Insya Allah” itu jawaban standar Menko yang satu ini kepada Presiden. Presiden pun sampai menugaskan orang untuk “nginteli” sang Menteri, sudah mulai latihan golf atau belum. Hasilnya negatif, karena memang Idham Chalid tak kunjung bermain golf, mungkin tidak ada minat.
Suatu hari Presiden menyuruh orang untuk mengantarkan seperangkat stik golf kualitas terbaik buatan Amerika, kerumah dinas Menko Kesra, Jalan Mangunsarkoro 52 Menteng. Pasti berharga mahal dong. Tentu saja dia mengucapkan terima kasih. Seperangkat stik golf itu dari hari kehari teronggok begitu saja dekat dapur. Ya sekali-sekali dipakai oleh pembantu rumahnya….untuk gebukin kasur yang dijemur. Duh pak Menko….
Jejak Masa Kecil Idham Chalid
Dikutip dari buku Idham Chalid : Guru Politik Orang NU (2017) yang ditulis Ahmad Muhadjir, sosok Idham muda memang sudah lekat dengan dunia para ulama. Ia juga dikenal sebagai orang yang cerdas dan berbakat dari kecil.
Sedari kecil, kemampuan berpikir dan berorasi Idham Chalid begitu kuat. Kelak, di kemudian hari, gaya retorika di panggung bisa sangat membius sejak menempuh pendidikan di sekolah rakyat (SR) hingga menjadi santri di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jatim pada 1922.
“Kelak, kemampuan pidatonya diakui secara luas di kancah nasional, baik sebagai penceramah, jurkam ataupun pengajar. Kemampuan ini dikombinasikan dengan kecerdasan dan kerendahan hati jadi modal bagi perjalanannya di dunia politik,” tulisnya di Hal 21.
Perjuangan Politik di NU
Saat masa revolusi, lewat kemampuan berbahasa yang ia miliki, Jepang, Inggris, dan Arab, ia jadi penyambung lidah para ulama dengan Jepang, mulai dari penerjemahan surat hingga urusan diplomasi.
Ketika merdeka, ia lantas tergabung di sejumlah organisasi dan ikut juga tergabung dengan Masyumi.
Lantas, ketika NU keluar dari Masyumi karena perbedaan politik, ia pun bergabung dengan Partai NU yang dibawanya menjadi besar hingga menjadi salah satu kekuatan terbesar di zaman itu.
NU jadi partai besar, bahkan pada Pemilu 1955 yang dianggap para sejarawan jadi pemilu paling demokratis dalam sejarah, NU dibawanya memperoleh suara nomor 3 setelah PNI dan Masyumi.
Waktu itu, dalam metode berpikir KH Idham Chalid, harus ada unsur agama yang berada di kekuasaan. Biar unsur umara, konsep untuk kepemimpinan, harus ada penyeimbang, yakni unsur ulama agar segala keputusan nantinya tetap berada di tengah. (Zainaldi Zainal)