Opini

BPKH, DISURUH LARI TAPI KAKI DIIKAT

Angota Komisi VIII DPR Bukhari Jusuf khawatir pada keberlanjutan keberadaan dan eksistensi Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH). Ia mengibaratkan BPKH itu seperti ekor tikus. Mula mula tampak besar, terus mengecil dan mengecil. Lama lama menghilang sama sekali.

Indikasi itu justru tergambarkan dari uraian Anggito Abimanyu. Kepala BPKH itu, setengah bergumam, katanya  pendaftar haji semakin berkurang. Pada tahun 2019 masih ada 710 ribu pendaftar tapi tahun 2021 Hanya 355 ribu. Hanya 50 persen. Selain itu masih kata mantan Dirjen Haji itu banyak calon jemaah yang membatalkan dan menarik dananya. Ia juga menyebut hasil pemanfaatan yang dilakukan dan menjadi hak para calon jemaah sudah ditransfer ke rekening masing masing.

Tidak terkesan optimisme dari Anggito, bahwa  tahun tahun mendatang angka itu akan naik lagi. Dia dan banyak orang paham, meskipun asa berhaji tetap tinggi tetapi ranjau ranjau yang menghadang, mengurungkan niat orang mendaftar.  Ranjau ranjau itu : Pertama kerena daftar tunggu haji telah begitu menumpuk. Tidak ada kepastian kapan bisa berangkat. Yang kedua sekarang ada ketentuan batas usia 65 tahun. Jadi kalau orang berusia 50 baru mendapar dan tinggal didaerah padat seperti Jakarta dan provinsi provinsi lain yang DT nya diatas 15 tahun maka pada waktunya, ia tidak bisa pergi kerena kelebihan usia.

Ini masalah sulit kerena ketentuan itu katanya datang dari otoritas Kerajaan Saudi Arabia.

Akan halnya kekhawatiran tentang pengelolaan dan keamanan dana haji oleh BPKH, mari coba kita membedahnya. Tentu saja dari kacamata plus 3,5 kerena . Cuma remang remang. Meraba raba mudah mudahan kena.

BPKH itu dibentuk dengan Perpres 110 tahun 2017

Perpres itu sendiri sebagai implementasi dari UU 34 tahun 2014 tentang BPKH. UU 34 itu juga amanat dari UU haji no 8 tahun 2009 tentang haji.

Sejak awal sejak Badan Pengurus dan Dewan Pengawas BPKH dilantik presiden Jokowi banyak orang melihat hal yang kontradiktif yang tidak seiring sejalan antara tugas dan wewenang.

Tugas BPKH itu mengelola, mengatur membayar pembiayaan haji berdasarkan keputusan/kesepakatan Kementerian Agama dengan DPR. Dana awal waktu itu ada sekitar Rp.90 trilyun. Itu merupakan kumpulan Dana Abadi ummat dan sisa sisa pembiayaan haji selama diselenggarakan oleh Kementerian Agama. Setelah itu BPKH ditugaskan untuk mengembangkan dana itu. Istilahnya mencari nilai manfaat. Juga menerima dan menyimpan uang setoran calon jemaah yang mendaftar setelah itu.

Ada banyak pemikiran waktu itu. Ada yang usul membangun hotel dan akomodasi haji di Saudi.  Ada usul membeli pesawat sendiri. Bahkan tak tanggung tanggung ada juga yang kasih saran membangun bandara haji di tanah air. Usul itu wajar wajar saja. Masih bisa terjangkau dengan dana yang ada.  Katanya bikin bandara itu hanya sekitar Rp.4 trilyunan. Tapi semua ide itu mustahil bisa dilaksanakan oleh para awak BPKH.

Masalahnya ada rambu rambu yang mengikat kaki mereka.  Baik di dalam UU 34 2014 maupun dalam Perpres 110 2017 BPKH itu berprinsip syari’ah dan nirlaba.

Sistim syari’ah di Indonesia ini belum memasyarakat. Orang kita ini berdagang atau menggunakan fasilitas perbankan masih nyaman dengan sistim konvensional. Lalu soal nirlaba mana ada usaha tanpa berharap untung? Aneh memang aturan itu. Padahal untung itu wajib bagi orang dagang mah.Aneh tapi nyata.

Selain itu orang orang BPKH juga takut rugi. Pasalnya ada aturan yang mengancam para pengurus dan pengawas dengan sanksi hukum jika merugi.

Teman teman saya mengibaratkan BPKH itu ibarat orang disuruh lari kencang tapi kakinya diikat. Hehehe. Sampai sekarang usaha mereka memang belum tampak ofensif. Anggito hanya ngaku dana itu dibelikan SBSN (Sertifikasi Berharga Syariah Negara) dan Sukkuk. Belakangan ada juga katanya yang dibeliin emas. Tapi hanya sekitar 5 % saja. Sisa uang cash ditaroh di Bank Syari’ah.

Banyak publik menganggap selama ini BPKH kurang transparan dan akuntabel. Sampai sampai muncul tagar “audit BPKH”.

Hidayat Nur Wahid politisi PKS dan Wakil Ketua MPR turut mendesak agar BPK mengaudit dan mengumumkan hasil audit itu kepada publik.

Anggito Abimanyu mengaku BPKH selalu diaudit oleh BPK dan hasilnya WTP (Wajar Tanpa Pengecualian). Tapi dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Mustolih Siradj meragukan keterangan Anggito.  Katanya dia sudah membuka website BPK dan BPKH tapi tidak menemukan itu. Terus soal pemberian nilai manfaat yang katanya sudah ditransfer ke virtual account para calon jemaah, khusus menyangkut rekening dia ternyata error.

Jadi BPKH masih tetap diminta transparan dan akuntabel. Secara periodik mengumumkan segalanya ke ruang publik. Berapa pula sekarang asset yang dimiliki? Menurut Anggito kepada komisi 8 tahun 2021 sudah ada Rp.158,9 trilyun.

Tapi publik masih ragu. Masalahnya kalau benar pendaftar sudah ada 5 juta orang dan mereka sudah bayar uang muka Rp.25 juta, dari situ saja sudah terkumpul Rp.125 trilyun. Lalu dana DAU dan basil pengembangan lainnya berapa dan kemana.  Memang selama ini BPKH memberi semacam subsidi kekurangan biaya yang dibebankan kepada jamaah. Subsidi itu rata2 Rp.40 juta perjemaah. Kalau musim normal dengan jumlah jemaah 220 ribu, subsidi BPKH hanya sekitar Rp.8,8 trilyun.

Jangan lupa dana itu yang terbesar adalah punya calon yang terjebak dalam DT yang katanya ada 5,1 juta orang.

Memperhatikan keadaan keadan ini muncul tanda tanya, jangan jangan prediksi Bukhari Yusuf tentang teori ekor tikus itu benar adanya. Dari besar, mengecil, mengecil lalu hilang sama sekali.

Alamaaaakkk !!!. ***