Beranda Pendidikan Bersyukur sebagai Jalan Menuju Kedamaian dan Kedewasaan Jiwa

Bersyukur sebagai Jalan Menuju Kedamaian dan Kedewasaan Jiwa

163
Oleh: A'isy Hanif Firdaus, S.Ag.

Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 152:

فَاذْكُرُوْنِيْٓ اَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْا لِيْ وَلَا تَكْفُرُوْنِ
Artinya: “Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.”

Ayat ini bukan sekadar perintah, melainkan panggilan lembut dari Allah SWT kepada hamba-Nya mengajarkan bahwa kehidupan yang bermakna berawal dari kesadaran untuk selalu mengingat Allah dan mensyukuri setiap karunia-Nya.
Bersyukur bukan hanya dalam bentuk ibadah lisan, tetapi sebuah nilai spiritual yang menuntun manusia pada ketenangan, kebahagiaan dan kedewasaan jiwa.

Syukur sering kali dipahami secara arti letterlek hanya diucapkan ketika mendapatkan sesuatu yang menyenangkan. Padahal, hakikat syukur jauh lebih luas. Bersyukur berarti mengakui bahwa segala sesuatu datang dari Allah, baik yang tampak sebagai nikmat maupun yang terlihat sebagai ujian. Dalam setiap peristiwa selalu ada hikmah yang tersembunyi dan orang yang bersyukur akan mampu melihat cahaya di balik gelapnya keadaan.

Rasa syukur sejati lahir dari hati yang sadar, bukan dari lisan yang terbiasa tumbuh ketika seseorang memahami bahwa hidup ini bukan kebetulan, melainkan karunia yang harus dijaga dan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Dengan bersyukur, manusia tidak hanya mengakui kemurahan Allah SWT tetapi juga menegaskan tanggung jawabnya untuk mengelola nikmat itu dengan bijak.

Ironisnya, manusia sering kali baru mengingat pentingnya syukur setelah kehilangan. Saat sehat, jarang kita sadar betapa berharganya nikmat itu. Namun, ketika sakit melanda, barulah kita memahami nilainya. Begitu pula dengan waktu, rezeki dan orang-orang yang kita cintai sering kali baru terasa bermakna setelah mereka tiada.

Dalam konteks inilah, syukur menjadi latihan spiritual untuk melawan kelalaian. mengajarkan kita untuk menghargai hal-hal sederhana yang sering terlewatkan udara yang kita hirup setiap hari tanpa biaya, tubuh yang bekerja tanpa henti atau kemampuan untuk tersenyum meski sedang lelah. Ketika seseorang mampu mensyukuri hal-hal kecil, maka sejatinya telah menapaki jalan menuju ketenangan batin.

Bersyukur tidak berarti menutup mata terhadap penderitaan atau berhenti berusaha. Justru sebaliknya, syukur adalah sumber energi yang mendorong manusia untuk terus maju. Orang yang bersyukur tidak mudah mengeluh, karena tahu bahwa setiap ujian membawa peluang untuk tumbuh tidak iri dengan keberhasilan orang lain, sebab yakin bahwa setiap orang memiliki jalan takdir masing-masing.

Syukur juga membangun ketahanan mental. Dalam psikologi modern, rasa syukur terbukti mampu meningkatkan kebahagiaan dan menurunkan tingkat stres. Namun jauh sebelum ilmu modern meneliti hal ini, Al-Qur’an telah mengajarkan bahwa syukur adalah kunci kelapangan hati. Allah berjanji dalam surah Ibrahim ayat 7: “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.” Janji ini menunjukkan bahwa syukur bukan hanya sikap pasif, melainkan pintu terbuka bagi bertambahnya keberkahan dalam hidup.

Di era modern yang serba cepat dan penuh kompetisi, rasa syukur semakin langka. Masyarakat sering dihadapkan pada standar keberhasilan yang bersifat materialistik siapa yang punya lebih banyak, dianggap lebih bahagia. Akibatnya, banyak orang terjebak dalam lingkaran ketidakpuasan.

Padahal, syukur tidak diukur dari banyaknya harta, melainkan dari ketenangan hati dalam menerima takdir. Orang kaya yang tak bersyukur akan terus merasa kekurangan, sementara orang sederhana yang penuh syukur bisa hidup dengan damai. Maka, menumbuhkan syukur berarti mengembalikan fokus kita dari “apa yang kurang” menuju “apa yang sudah cukup.”

Cara paling sederhana untuk melatih syukur adalah dengan sering merenung. Luangkan waktu setiap hari untuk menyadari nikmat-nikmat kecil yang telah Allah berikan. Tulis tiga hal yang kita syukuri setiap malam, ucapkan “alhamdulillah” bukan hanya sebagai rutinitas, tapi sebagai pengakuan tulus dari hati. Sedikit demi sedikit, kesadaran ini akan membentuk kebiasaan berpikir positif dan hati yang lapang.

Sebagai penutup yang ingin saya sampaikan syukur sebagai jalan pulang bersyukur bukan hanya soal berterima kasih kepada Allah, tetapi juga cara untuk kembali kepada-Nya.

Dalam syukur, ada pengakuan akan ketergantungan kita kepada Allah SWT ada kerendahan hati, dan ada kedamaian yang tak bisa dibeli dengan apapun.

Firman Allah SWT dalam Al-Baqarah ayat 152 adalah janji dan pengingat: “Maka ingatlah kepada-Ku, Aku pun akan ingat kepadamu. Bersyukurlah kepada-Ku dan janganlah kamu ingkar kepada-Ku.” Betapa indahnya jaminan itu bahwa setiap kali kita mengingat dan mensyukuri-Nya, Allah pun mengingat kita.

Maka, jadikanlah syukur sebagai napas kehidupan. Syukur yang tidak sekadar diucapkan, tetapi dihayati dan diwujudkan dalam setiap perbuatan. Sebab dalam syukur, kita menemukan bukan hanya nikmat yang tampak, melainkan juga ketenangan yang abadi di dalam hati. Wallahu A’lam Bishowwab


Eksplorasi konten lain dari aswajanews

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.