ALLAH Subhanahu Wa Taala telah berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah suatu kaum mengolok-olok kaum yang lain, (karena) boleh jadi mereka (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari mereka (yang mengolok-olok), dan jangan pula perempuan-perempuan (mengolok-olokkan) perempuan lain, (karena) boleh jadi perempuan (yang diperolok-olokkan) lebih baik dari perempuan (yang mengolok-olok). Janganlah kamu saling mencela satu sama lain, dan jangan saling memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk (fasik) setelah beriman. Dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.“ (QS, Al-Hujurat, 49: 11).
Para ulama memiliki kedudukan yang layak untuk mereka, Allah mengangkat dan membedakan mereka dari selain mereka, sebagaimana Allah berfirman, “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah, 58:11). Dalam hadis disebutkan, “Tinta ulama lebih utama dibandingkan darah syuhada.”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Barangsiapa meniti sebuah jalan untuk mencari ilmu, niscaya Allah memudahkan jalan ke surga untuknya. Sesungguhnya orang alim benar-benar dimohonkan ampunan untuknya oleh penduduk langit dan bumi (bahkan) sampai ikan di laut. Dan keutamaan orang berilmu di atas ahli ibadah adalah seperti keutamaan rembulan di atas semua bintang-bintang. Sesungguhnya para ulama itu adalah pewaris para nabi. Sesungguhnya para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham, akan tetapi mewariskan ilmu, maka barangsiapa mengambilnya, maka dia memperoleh bagian yang melimpah.” (HR. Ahmad melalui Abu ad-Darda r.a.).
Tidak ada keraguan bahwa melecehkan (menghina-mengolok-olok) para ulama atau orang-orang shalih bertentangan dengan kecintaan dan penghargaan kepada mereka, melecehkan mereka berarti menghina dan merendahkan mereka. Dalam hal ini Al-Alusi berkata, “menghina” berarti ‘meremehkan dan merendahkan’, sedangkan Imam al-Ghazali menyebutkan bahwa “menghina” berarti ‘merendahkan, meremehkan dan menonjolkan aib dan kekurangan sehingga ditertawakan. Bisa pula dengan menirukan perkataan, perbuatan, isyarat dan tanda’.
Menghina ahli ilmu dan orang-orang shalih adalah salah satu sifat orang-orang kafir sekaligus salah satu ciri orang-orang munafik, sebagaimana hal itu ditetapkan oleh al-Qur’an dalam banyak ayat. Allah Swt berfirman, “Kehidupan dunia di jadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir, dan mereka memandang hina orang-orang yang beriman. Padahal orang-orang yang bertaqwa itu lebih mulia daripada mereka di Hari Kiamat. Dan Allah memberi rizki kepada orang-orang yang dikehendaki-Nya tanpa batas.” (QS. Al-Baqarah, 2: 212).
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Muliakanlah oleh kalian para ulama, karena mereka adalah pewaris para Nabi; barangsiapa memuliakan mereka berarti ia memuliakan Allah dan Rasul-Nya.” (HR.Imam Khathib melalui Jabir).
Hadis ini menerangkan tentang keutamaan para ulama. Disebutkan di dalamnya bahwa mereka adalah pewaris para nabi. Dikatakan demikian karena Nabi Saw. wafat tidak meninggalkan dinar atau kekayaan lainnya, melainkan hanya ilmu syariat, berarti ia pewaris Nabi Saw. Kita diwajibkan menghormati mereka karena menghormati mereka berarti sama dengan menghormati Allah dan Rasul-Nya.
Ibnu Qayyim mengatakan, “Sabdanya, “Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi”, ini adalah ‘salah satu keutamaan terbesar bagi para ulama. Para nabi adalah makhluk Allah yang paling baik, maka pewaris para nabi adalah makhluk Allah terbaik setelah mereka. Manakala setiap warisan orang yang mati berpindah kepada ahli warisnya karena merekalah yang meninggalkan posisinya setelahnya, sementara tidak ada penerus para rasul dalam menyampaikan ajaran yang mereka bawa kecuali para ulama, maka mereka paling berhak terhadap warisan mereka. Ini membuktikan bahwa para ulama adalah orang-orang terdekat kepada para nabi’.
Hadis di atas tersebut mengandung petunjuk dan perintah kepada umat agar mentaati, menghormati, mendukung, menghargai dan memuliakan mereka. Hadis ini juga mengandung peringatan bahwa mencintai mereka termasuk Agama dan membenci mereka bertentangan dengan Agama sebagaimana hal itu berlaku untuk apa yang mereka warisi. Begitu pula membenci dan memusuhi mereka berarti membenci dan memusuhi Allah sebagaimana hal itu berlaku pada apa yang mereka warisi. Ali bin Abi Thalib berkata, “Mencintai ulama adalah Agama yang menjadi pegangan.
Jelaslah dengan ini bahwa mencintai ulama yang beramal termasuk agama. Dalam salah satu atsar disebutkan, “Jadilah kamu seorang alim atau penuntut ilmu atau mendengar, atau orang yang mencintai mereka, dan janganlah kamu menjadi yang kelima (yang membenci mereka), nanti kamu celaka.”
Ibnu Rajab mengatakan bahwa hadis Abu ad-Darda tersebut adalah, “Yang membenci orang mukmin dan ulama hanyalah para ahli maksiat dari kalangan jin dan manusia, karena kemaksiatan mereka kepada Allah berarti mendahulukan hawa nafsu mereka di atas kecintaan dan ketaatan kepada Allah.
Dalam pandangan Dr. Abdul Aziz bin Muhammad bin Ali Al-Abdul Lathif mengatakan bahwa, menghina para ulama dan orang-orang shalih ada dua bentuk: Pertama, Menghina pribadi mereka. Misalnya menghina sifat-sifat mereka, baik dari sisi fisik atau akhlak mereka, ini haram berdasarkan, Firman Allah QS. Al-Hujurat ayat 11 (di atas). Yang dimaksud oleh ayat ini adalah merendahkan dan meremehkan mereka, ini haram karena bisa jadi yang dihina lebih mulia kedudukannya di sisi Allah dan lebih Dia cintai daripada orang yang mengejek dan menghina.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam telah bersabda, “Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Barangsiapa memusuhi waliKu, maka Aku mengumumkan perang kepadanya, dan tidaklah hambaKu mendekatkan diri kepadaKu dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada dia melakukan apa yang telah Aku wajibkan atasnya, dan hambaKu senantiasa mendekatkan diri kepadaKu dengan amalan-amalan nafilah sehingga Aku mencintainya, lalu apabila Aku mencintainya maka Aku adalah (Penolong) pendengarannya yang dengannya dia mendengar, (Penolong) pandangannya yang dengannya dia memandang, (Penolong) tangannya yang dengannya dia berbuat dan (Penolong) kakinya yang dengannya dia berjalan, jika dia meminta kepadaKu, niscaya Aku memberinya, jika dia meminta perlindunganKu, niscaya Aku melindunginya’,” (HR. Bukhari melalui Abu Hurairah r.a).
Ibnu Rajab menjelaskan tentang hadis ini, “Firman Allah, ‘Barangsiapa memusuhi waliKu, maka Aku mengumumkan perang kepadanya’, yakni, Aku memberitahukan kepadanya bahwa Aku memeranginya karena dia memerangiKu dengan memusuhi wali-waliKu. Wajib berwala‘ , kepada wali-wali Allah, haram memusuhi mereka, sebagaimana wajib memusuhi musuh-musuh Allah dan haram berwala’ kepada mereka”.
Kedua, Menghina Ulama karena mereka ulama, karena ilmu syar’I yang mereka miliki dan karena mereka mengikuti al-Quran dan as-Sunnah Nabi yang shahih, pada hakekatnya adalah penghinaan terhadap ayat-ayat Allah dan pelecehan terhadap Syari’at Agama Allah Swt. Tidak ada keraguan bahwa penghinaan ini merupakan kekufuran yang bertentangan dengan Iman. Ini adalah kekufuran karena ia menghina Agama Allah Swt. Begitu pula menghina orang shalih karena keteguhannya beragama dan berpegang kepada as-Sunnah, hinaan di sini mengarah kepada Agama dan as-Sunnah itu sendiri.
Allah subhanahu wa taala telah berfirman, “Dia (Allah) berfirman, “Tinggallah dengan hina di dalamnya, dan janganlah kamu berbicara dengan Aku”. Sungguh ada segolongan dari hamba-hamba-Ku berdoa, “Ya Tuhan kami, kami telah beriman, maka ampunilah kami dan berilah kami rahmat, Engkau adalah pemberi rahmat yang terbaik.” Lalu kamu jadikan mereka buah ejekan, sehingga kamu lupa mengingat Aku, dan kamu (selalu) mentertawakan mereka.” (QS. Al-Mu’minun, 23: 8-10).
Imam Al-Qurthubi menjelaskan tentang ayat di atas kesimpulannya: Peringatan terhadap mengejek, menghina dan merendahkan serta melecehkan mereka dan menyibukan diri dengan mereka dalam perkara yang tidak penting, adalah faktor yang menjauhkan dari Allah Swt. Merendahkan ulama karena mereka ulama adalah merendahkan ilmu, dan ilmu adalah sifat Allah Ta’ala yang Dia berikan sebagai karunia kepada hamba-hamba-Nya yang terpilih, agar mereka membimbing hamba-hamba-Nya di atas pijakan syariat sebagai penerus para Rasul-Nya. Maka hinaan ini diketahui kepada siapa ia kembali.
Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman, “(Orang munafik) yaitu mereka yang mencela orang-orang beriman yang memberikan sedekah dengan sukarela dan yang (mencela) orang-orang yang hanya memperoleh (untuk disedekahkan) sekadar kesanggupannya, maka orang-orang munafik itu menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka dan mereka akan mendapat azab yang pedih.” (QS. At-Taubah, 9: 79).
Ibu Hazm berkata, “Shahih dengan nash yang jelas bahwa siapa yang menghina Allah, atau salah seorang malaikat, atau salah seorang nabi, atau suatu ayat al-Qur’an, atau salah satu kewajiban agama, di mana semua itu adalah ayat-ayat Allah, maka dia kafir bila hujjah sampai kepada kepadanya”.
Musuh-musuh Islam dari kalangan orang-orang kafir dan orang-orang munafik zaman sekarang ini, para pengekor atau penjilat mereka berusaha memperburuk citra ulama dan meruntuhkan kedudukan mereka dalam jiwa umat Islam. Mereka berusaha mati-matian demi hal tersebut, mereka menyusun strategi-strategi besar demi menghalang-halangi dan memadamkan Agama ini melalui serangan yang diarahkan kepada para pembawa Islam, da’i-da’i dan ulama-ulamanya. Media-media informasi dan lainnya menjadi pelopor serangan ganas ini terhadap ulama Islam. Maka muncullah penghinaan terhadap para ulama dan orang-orang shalih melalui berbagai media, orang-orang rendahan dari para pemuja syahwat dan syubhat menantang dengan sombong kedudukan ulama dan orang-orang shalih, orang-orang shalih yang teguh beragama dilecehkan dengan tuduhan intoleransi, radikalisme dll.
Atas penghinaan dan pelecehan mereka maka Allah berfirman, “Dan apabila dia mengetahui barang sedikit tentang ayat-ayat Kami, maka ayat-ayat itu dijadikan olok-olok. Merekalah yang memperoleh azab yang menghinakan, dihadapan mereka neraka Jahannam.” (QS, Al-Jatsiyah, 45: 9-10). Di dalam Surat yang lain terdapat lagi perkataan ini, “Celakalah bagi setiap pengumpat dan pencela.” (QS.Al-Humazah, 104:1). Sedangkan dalam Tafsir Al-Azhar, diterjemahkan, “Neraka Wailun buat setiap orang yang suka mencedera orang dan mencela orang.” Wallahu a’lam bish shawwab. ***