Dalam perjalanan sejarah panjang Islam di Nusantara, ada satu hal yang menjadi ciri khas dan pembeda yang sangat mencolok dibandingkan wilayah lain di dunia Islam yakni wajah Islam yang ramah, inklusif, dan mampu berdialog dengan budaya lokal. Wajah Islam seperti ini bukan muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan buah dari fondasi teologis dan metodologis yang kokoh, yakni Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja). Dan salah satu tonggak penting dalam pengukuhan Aswaja sebagai dasar peradaban di Indonesia adalah karya monumental Risalah Ahlussunnah wal Jamaah yang ditulis oleh Hadratussyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari, sebagai pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
Sebagai seorang ulama besar yang sangat memahami tantangan zamannya, KH. Hasyim Asy’ari menulis Risalah Ahlussunnah wal Jamaah sebagai merespons munculnya berbagai paham yang dianggap menyimpang dari tradisi Islam yang telah lama dianut oleh mayoritas umat Islam Indonesia. Beliau melihat adanya potensi disorientasi keagamaan akibat pengaruh paham ekstremisme, baik dari arah yang terlalu keras dalam memahami agama maupun dari kelompok yang terlalu bebas menafsirkan ajaran Islam. Dalam konteks inilah, Risalah Ahlussunnah wal Jamaah hadir bukan hanya sebagai kitab teologi, tetapi sebagai manifes ideologis dan kultural yang menjadi panduan umat Islam di Indonesia dalam menjalankan agama secara seimbang dan moderat.
Di dalam kitab ini, Hadratussyaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari menegaskan bahwa “akidah Asy’ariyah dan Maturidiyah” adalah jalan tengah yang selamat, yang menolak pendekatan rasionalisme ekstrem maupun pemahaman tekstualis sempit. Beliau juga menguatkan posisi mazhab Syafi’i dalam fikih, yang tidak hanya kaya secara metodologis, tetapi juga fleksibel dalam penerapan sosial. Lebih jauh lagi, KH. Hasyim Asy’ari memasukkan dimensi tasawuf sebagai pilar penting dalam kehidupan beragama, khususnya tasawuf yang mengikuti garis ajaran Imam al-Ghazali, yang menekankan pentingnya tazkiyatun nafs (penyucian jiwa) tanpa kehilangan pijakan syariat.
Nilai-nilai inilah yang kemudian menjelma menjadi karakter Islam Nusantara Islam yang bersatu dengan budaya tanpa mencairkan prinsip-prinsip ajaran. Islam yang tidak memusuhi tradisi, melainkan menyaring dan meluruskannya secara bertahap. Misalnya, praktik-praktik keagamaan yang sudah berkembang lama seperti tahlilan, maulidan, manaqiban, dan ziarah kubur yang oleh sebagian kalangan dianggap bid’ah, justru dalam tradisi Aswaja diterima sebagai ekspresi kecintaan kepada Rasulullah shalallahu Alaihi Wassalam, ulama, dan orang-orang saleh. Praktik-praktik ini tidak hanya memperkaya spiritualitas umat, tetapi juga menjadi media sosial dan budaya dalam mempererat ikatan masyarakat.
Lebih dalam daripada itu, Risalah Ahlussunnah wal Jamaah juga menjadi rujukan penting dalam membentuk watak kebangsaan umat Islam di Indonesia. Hadratussyaikh tidak hanya berbicara soal aqidah dan ibadah, tetapi juga menyampaikan pentingnya menjaga persatuan, menghormati pemerintah yang sah, dan mencintai tanah air. Dalam konteks inilah muncul gagasan yang sangat relevan hingga hari ini, bahwa “hubbul wathan minal iman” (cinta tanah air adalah bagian dari iman). Pernyataan ini bukan slogan kosong, melainkan manifestasi dari cara berpikir Aswaja yang melihat agama dan kehidupan berbangsa sebagai satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan.
Tentunya, Opini ini menjadi sangat penting untuk diangkat kembali hari ini, di tengah gempuran arus globalisasi, digitalisasi, dan ideologi-ideologi transnasional yang kadang memaksakan pemahaman keislaman yang tidak kontekstual dengan realitas Indonesia. Banyak generasi muda yang mulai terpapar paham-paham keagamaan yang keras, puritan, dan menolak keberagaman. Dalam kondisi seperti ini, pemahaman terhadap Aswaja sebagaimana diwariskan KH. Hasyim Asy’ari menjadi sangat mendesak.
Kita membutuhkan pendekatan Islam yang tidak hanya benar secara teks, tetapi juga bijak dalam konteks. Islam yang tidak hanya menyelamatkan individu secara spiritual, tetapi juga mampu menjadi pilar peradaban yang damai, adil, dan berkeadaban. Dan semua itu, sesungguhnya telah dirumuskan dengan sangat indah dalam Risalah Ahlussunnah wal Jamaah.
Oleh karena itu, menjaga, mengkaji, dan mengamalkan nilai-nilai Aswaja bukan hanya tugas para kiai atau santri, tetapi tanggung jawab seluruh umat Islam Indonesia yang ingin mempertahankan warisan peradaban yang luhur. Karena dalam Aswaja-lah, kita menemukan akar keislaman yang kuat, sekaligus sayap kebudayaan yang lentur dan terbuka.
Wallahu A’lam Bish Showwab
• A’isy Hanif Firdaus