Saat ini untuk mengajukan kredit kendraan bukanlah hal yang sulit. Banyak perusahaan pembiayaan (leasing) menawarkan kredit dengan berbagai jenis kebutuhan, seperti kredit kendaraan bermotor dan lain-lain. Namun, tidak sedikit kasus jika si debitur menunggak kredit beberapa bulan maka perusahaan pembiayaan selaku kreditur langsung mengambil paksa barang atau kendaraan debitur lewat debt collector. Padahal jika kita pahami Undang-Undang No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Fidusia), kreditur tidak bisa mengambil barang milik debitur secara paksa.
Memang, UU Fidusia mempunyai peran yang sangat penting dalam menunjang pertumbuhan perekonomian Indonesia dan salah satu indicator getting credit. Saat ini, jaminan fidusia yang bersifat accesoir merupakan landasan hukum terhadap perjanjian kredit, hal ini sangat memperhatikan kepentingan debitur dengan memberikan jaminan hukum kepada benda bergerak atau kendaraan yang di kredit dari kreditur (perusahaan leasing).
Jaminan yang lahir karena perjanjian adalah jaminan yang harus diperjanjikan terlebih dahulu diantara para pihak, yaitu perjanjian yang mengikuti dan melihat pada perjanjian dasar atau perjanjian pokok yang menerbitkan utang atau kewajiban atau prestasi bagi debitur terhadap kreditur. Pada Pasal 14 ayat 3 UU Fidusia berbunyi, jaminan lahir saat dilakukan pendaftaraan jaminan fidusia. Pernyataan dalam UU tersebut bisa dimaknai, apabila jaminan fidusia belum didaftarkan maka perusahaan leasing belum memiliki hak jaminan fidusia termasuk hak untuk melakukan eksekusi terhadap benda yang sedang dijaminkan. Hal ini tentunya memberikan kepastian hukum dan perlindungan kepada para pihak melalui lembaga pendaftaran fidusia.
Meski tujuan pengaturan lembaga jaminan khusus kebendaan (fidusia) utamanya guna melindungi kepentingan kreditur sebagai penyedia dana dalam perjanjian pinjam meminjam, namun kententuan yang terdapat di UU Fidusia tetap memperhatikan kepentingan para pihak secara seimbang termasuk kepentingan debitur. Lembaga jaminan fidusia juga memberikan perlindungan kepada benda bergerak atau kendaraan yang sedang dikredit oleh debitur tidak bisa dieksekusi oleh kreditur kecuali dalam hal debitur wanprestasi.
Kewenangan melakukan eksekusi baru bisa dilakukan oleh kreditur apabila debitur melakukan wanprestasi dengan memperhatikan Pasal 1238 Kitab Undang-Undang Hukum (KUH) Perdata. Pada Pasal 1238 KUH Perdata disebutkan bahwa debitur dinyatakan lalai dengan surat perintah, akta sejenis atau berdasarkan kekuatan dari perjanjian akad kredit sendiri atau berdasarkan lewatnya waktu yang ditentukan dalam perjanjian. Dengan kata lain wanprestasi bisa diartikan debitur tidak melaksanakan kewajibannya kepada kreditur sesuai waktu yang sudah disepakati.
Selain itu, UU Fidusia tidak memberikan kewenangan kepada kreditur untuk melakukan upaya paksa atau mengambil benda yang menjadi objek jaminan fidusia secara paksa dari tangan debitur tanpa bantuan pihak berwenang seperti pengadilan atau kepolisian. Dalam rangka eksekusi fidusia, Kapolri sendiri sudah mengeluarkan Peraturan Kapolri No 8 Tahun 2011 tentang pengamanan eksekusi jaminan fidusia yang sudah berlaku sejak 22 Juni 2011.
Dengan demikian, meskipun UU Fidusia memberikan kewenangan untuk melakukan eksekusi jaminan fidusia atas kekuasaannya sendiri atau melalui parate eksekusi seolah-oleh menjual barang miliknya sendiri, namun kewenangan tersebut tidak termasuk melakukan upaya paksa dalam hal debitur tidak secara sukarela menyerahkan benda objek jaminan yang dikuasainya dalam rangka eksekusi.
Kreditur sebagai pemilik benda tetap harus meminta bantuan kepada pengadilan atau pihak yang berwenang dalam rangka mengambil alih barang miliknya sendiri apabila pihak lain yang menguasainya tidak secara sukarela mau menyerahkan kepada pemiliknya. Untuk melakukan upaya paksa, UU memberikan alternatif bagi kreditur yang memerlukannya melalui pelaksanaan titel eksekutorial sebagaimana diatur dalam Pasal 29 ayat (1a) UU Fidusia.
Selain itu, perlindungan lain yang diberikan oleh UU Fidusia yakni larangan untuk memiliki benda yang menjadi objek jaminan dalam hal debitur wanprestasi. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 33 UU Jaminan Fidusia. Berdasarkan ketentuan tersebut, objek jaminan hanya dimungkinkan untuk dijual atau dieksekusi jika debitur melakukan wanprestasi dan hasil penjualannya digunakan untuk melunasi kewajiban debitur jika ada sisa dari penjualan maka hasilnya harus dikembalikan kepada debitur. Eksekusi dimaksudkan untuk memenuhi kewajiban debitur sesuai dengan perjanjian, bukan merampas hak milik debitur secara semena-mena.
Oleh Bernard Simamora, SH, S.IP, S.Si, MM