Beranda Kajian Gus Yahya, Akankah Menjadi Mujaddid di Komunitas NU ? Ataukah Sebaliknya?

Gus Yahya, Akankah Menjadi Mujaddid di Komunitas NU ? Ataukah Sebaliknya?

Selamat atas Kemenangan Gus Yahya pada pemilihan Ketua Umum PBNU di Muktamar 34 Bandar Lampung. Muktamar kali ini berjalan lancar, dan berakhir damai tanpa kericuhan. Ini bukan kemenangan satu pihak tetapi kemenangan seluruh warga NU.

Kiai Said Aqil Siradj pernah mengatakan: “Saya sangat senang, bersyukur Muktamar berakhir dengan baik dan yang terpilih adalah Gus Yahya. Ini pilihan para muktamirin yang tepat, tidak salah pilihan, sangat tepat. Insyaallah, membawa barokah.”

Statement Kiai Sa’id adalah gambaran pemikiran yang bijaksana. Arif. Mengandung keteladanan. Serta inspiratif bagi tumbuh kembang demokrasi. Inilah yang kita harapkan di masa-masa mendatang, di mana makna demokrasi bukan berarti pertarungan menang-kalah, melainkan teknik musyawarah yang lebih taktis.

Namun, NU tidak kekurangan figur ideal. Selain Kiai Sa’id, di sana juga ada Gus Yahya. Sekalipun jadi pihak pemenang, Gus Yahya menundukkan badan, mencium tangan Kiai Sa’id. Sebagai pribadi yang secara usia lebih muda, ia menjunjung tinggi yang lebih tua. Keteladanan ini sangat kaya dalam tradisi NU.

Sangat sedikit figur seperti Kiai Sa’id dan Gus Yahya ini. Jadi, riak-riak yang mencuat pra Muktamar sudah selesai, dan tidak ada alasan lain untuk terus berseberangan. Dua figur Kiai Sa’id dan Gus Yahya adalah simbol persatuan itu sendiri. Kita sebagai santri, khodim, dan pelayan bagi kedua figur itu, juga selayaknya meniru mereka. Berdamai.

Setelah berdamai di antara semua kubu tercapai, berikutnya adalah tantangan masa depan. Mau tidak mau, masa depan adalah dunia baru. NU akan dihadapkan dengan dunia big data, kecerdasan buatan, kripto, metaverse, persaingan antariksa, perang biologi, pengembangan sumber daya terbarukan, dan lainnya.

Dunia baru ini menantang slogan yang selalu kita banggakan: “al-akhdzu bil jadidil ashlah.” Mengadopsi perkembangan dunia mutakhir yang positif. Artinya, skala prioritas di masa depan adalah “tajdid”, yang berarti invensi, penemuan, pembaharuan, dan kreativitas. Tanpa adanya spirit tajdid tersebut, berat rasanya NU berperan di masa depan.

Tetapi, apakah mudah mengembangkan pola pikir dan tajdid? Tentu hal itu tidak mudah. Ada semacam tahapan dan proses agar pola pikir “minat turats ilat tajdid” berjalan. Syarat paling dasar adalah penempatan skala prioritas bahwa “al-jadid al-ashlah” harus diutamakan dari pada “al-qodim as-sholeh”. Tajdid harus lebih diprioritaskan.

Tajdid tentu tidak terputus dari akar turats. Tetapi, tajdid berarti tidak terjebak dalam dan oleh turats. Sehingga ada ruang gerak yang lebih luas. Ini yang kita perlukan di masa depan, yang penuh ketidakpastian, ketidakajegan, bahkan abnormalitas dan post-kebenaran. Inilah era disrupsi.

Bagaimana NU bisa menghadapi dan mengatasi persoalan digitalisasi pengetahuan, big data, kecerdasan buatan, kripto dan lainnya, tentu butuh langkah radikal manajerial. NU harus tumbuh berkembang dari organisasi tradisional-feodal menjadi modern-profesional. Orang-orang muda berbakat perlu diberi tempat terhormat. Saintis, filsuf, teknokrat, insinyur, semua mereka harus dinomorsatukan.

Jika mampu mewujudkan semua itu, Gus Yahya bisa diharapkan menjadi Mujaddid di komunitas NU. Jika tidak maka ranah-ranah tersebut di atas akan diambil alih oleh orang-orang di luar NU, dan konsekuensinya NU masih jadi penonton tumbuh kembang peradaban manusia di muka bumi. NU akan tetap monoton dan tetap membuat skala prioritas bagi urusan-urusan “al-qodim as-sholih”, serta menomorduakan “tajdid” walaupun terbukti al-ashlah.

Tentu saja kita tidak akan mau menjadi komunitas penjaga “museum”, yang bergelut dengan turats, tetapi lidah menjadi kelu tatkala harus membahasakan nilai-nilai turats dengan bahasa milenial yang saintifik. NU akan gagap karena kekurangan bahasa, lebih-lebih kekurangan intelektual yang lihai bicara tentang masa depan dan segala kebutuhannya.

Gus Yahya diharapkan untuk membawa perubahan dan pembaharuan. Maksudnya, membuat NU tidak terjebak dalam pepatah lama “agama tanpa sains adalah pincang”. Turats tanpa “at-tajdid al-ilmi” menjadi pincang. Terus-menerus fokus pada romantisme masa lalu tanpa keterlibatan pro-aktif dalam kebutuhan masa depan, adalah pincang. Berjalan satu kaki. Bahkan bertolak dari spirit al-muhafazhah secara keseluruhan. Karena pada dasarnya prinsip ini adalah tentang keseimbangan. Wallahu’alam bis shawab. ***

*Penulis adalah Alumni Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri; Alumni Universitas Al-Azhar, Mesir, Dept. Theology and Philosophy; Alumni Universiti Kebangsaan Malaysia, Dept. Politic and Strategy; Alumni Universiti Malaya, Dept. International Strategic and Defence Studies; Pengasuh Pondok Pesantren Bina Insan Mulia, Cirebon; Wakil Ketua Pimpinan Pusat Rabithah Ma’ahid Islamiyah (Asosiasi Pondok Pesantren se-Indonesia); Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Periode 2010-2015.